Saturday, September 27, 2014

Catatan Kewirausahaan #3

Pertemuan ketiga dimulai dengan presentasi 3 ide bisnis dari tiap kelompok. Ide-ide bisnis masing-masing kelompok sangat menarik. Meskipun demikian, di minggu depan diminta untuk memilih hanya satu ide bisnis yang siap untuk dibuatkan proposal bisnisnya. 

Materi yang kami dapatkan pada hari itu adalah mengenai creative thinking. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh IBM, originalitas menjadi satu aspek di mana dikembangkan inovasinya. Kreativitas merupakan proses berpikir bagaimana seluruh aspek intelegensia bekerja secara bersama-sama. Kreativitas belajar dari berbagai disiplin ilmu. 

Kami diperlihatkan suatu gambar berisi objek, yang mana kami diminta untuk menulis sebanyak-banyak manfaat atau kegunaan dari objek tersebut. Manfaat dari simulasi tersebut adalah kami diajarkan untuk berpikir kreatif, misalnya saja tiang tanda berhenti, selain secara umum digunakan sebagai tanda agar  kendaraan berhenti, dipikirkan juga bahwa bisa digunakan untuk dayung, tameng, alat pemukul, dan lain sebagainya. Itulah yang dimaksud dengan berpikir kreatif.

Proses berpikir kreatif artinya berpikir dengan divergen, mencari alternatif-alternatif yang ada dari proses berpikir tadi. Proses berpikir itu tidak dibatasi, apakah executable atau tidak dapat dilaksanakan. Misalnya saja, sejarah perkembangan telefon. Mungkin puluhan tahun yang lalu, kita pernah berimajinasi dapat melihat dari jarak jauh orang yang kita hubungi. Di tahun tersebut tentu tidak mungkin dilaksanakan, tetapi itu menjadi mungkin pada masa kini. Dalam berpikir kreatif, terdapat suatu model yang akan membantu agar kita dapat mengatasi persoalan dengan kreatif, yaitu creative problem solving model. Berikut adalah komponennya:
  1. Clarification, memahami suatu permasalahan.
  2. Memiliki dan mengembangkan solusi, kemudian dipilih solusi yang paling tepat.
  3. Make an action plan, membuat ide bisnis.
Divergent thinking merupakan proses berpikir yang out of the box, berpikir seluas-luasnya, "sebodo amat" bisa dilakukan atau tidaknya. 

Dalam hal ini terbagi dua tahap. Tahap pertama adalah yang disebut dengan "Knowable Current State", sementara tahap kedua adalah "Clear an Ambiguous Vision, Strategy, and Plan".

Knowable Current State terdiri dari:
  1. Exploring possibilities, semua kemungkinan dieksplorasi.
  2. Brainstorming, berpikir dari berbagai sudut pandang yang luas.
  3. Synthesis, berpikir jauh ke depan, berimajinasi, bagaimana caranya.
  4. Unconstrained, berpikir tanpa perlu memperhatikan adanya hambatan-hambatan.
  5. Multiple, hasil proses berpikir akan banyak, tidak akan hanya satu.
  6. Include all options, termasuk ke semua opsi. 
Selanjutnya, diteruskan ke tahap berikutnya, yaitu Clear an Ambiguous Vision, Strategy and Plan:
  1. Reducing option, apa yang menjadi opsi-opsi sebelumnya dieliminasi beberapa yang tidak mungkin diaplikasikan.
  2. Making choices and focusing, tentukan pilihan dan fokuskan pada tujuan.
  3. Analysing, dianalisis executable atau tidaknya.
  4. Prioritising.
  5. Constrained, sudah memperhatikan kemungkinan adanya hambatan, misalnya memilih yang sesuai dengan kemampuan.
  6. Singular, proses pemilihan akan menghasilkan opsi yang lebih sedikit, bisa hanya satu, proses mengerucut.
  7. Converge on one way
Jadi setelah berpikir kreatif, tahap dua berusaha untuk mewujudkan hasil pemikiran kreatif tersebut. 

Untuk lebih menyesuaikan ide bisnis dengan kebutuhan pasar. Ada yang disebut dengan peta empati, semacam melakukan market research. Berikut adalah petanya:


Dalam membuat ide bisnis, perlu untuk menerapkan peta empati di atas. Inovator perlu untuk turut memikirkan dan merasakan apa yang ada di benak pelanggan. Kemudian mengobservasi apa saja yang biasa dilihat oleh pelanggan. Lalu mendengar apa yang didengar oleh pelanggan, dan melakukan apa yang dikatakan oleh pelanggan terkait saran perbaikannya. Terkadang setelah ide bisnis diwujudkan, dalam penerapannya dapat menimbulkan rasa sakit berupa frustasi dari pelanggan. Misalnya dibuat handphone dengan ketahanan baterai lebih dari 3 hari, namun ternyata menyebabkan pelanggan frustasi akibat terlalu berat dan besarnya handphone tersebut. Berangkat dari hal itu, maka inovator dapat membuat produk yang baru sehingga dapat memperoleh apa yang ingin dicapai oleh pelanggan.

Selanjutnya dibahas mengenai strategi dan tantangan kewirausahaan di Indonesia. Peluang usaha di Indonesia sangat baik sekali, atas dasar: 
  1. Berdasarkan suatu penelitian, diketahui bahwa tiap tahun akan terdapat 7% masyarakat dengan kelas pendapatan menengah baru di Indonesia. Setiap 130 juta orang akan menghabiskan 2-20 USD per harinya sehingga tidak mengherankan mall-mall di Indonesia selalu penuh dikunjungi. 
  2. Adanya perubahan tren dan gaya hidup. Saat ini bisa jadi, orang menjadi agak malas masak sendiri sehingga lebih menyukai makan di luar atau yang lainnya. Atau terkait juga kebutuhan makanan yang menerapkan pola hidup sehat, sehingga kemudian menjadi peluang di pasar. Biasanya, ketika kota besar memiliki suatu tren tertentu, akan secara otomatis perlahan-lahan diikuti oleh kota kecil.
  3. Adanya perkembangan teknologi informatika yang kian cepat. Adanya social media, memudahkan antar individu menjadi lebih mudah berkomunikasi.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi kesempatan berusaha. Berikut adalah macam caranya:
  1. Mencoba mempelajari tingkat impor di suatu wilayah yang masih sangat tinggi. Misalnya negara Jepang senang mengkonsumsi bulu babi, namun tidak banyak tersedia di negaranya sehingga perlu untuk mengimpor. Maka dapat menjadi peluang pengusaha di Indonesia yang mana bulu babinya sangat melimpah.
  2. Menyelidiki material lokal. Kembali contohnya seperti di Jepang, misalnya bahan baku batu bara di Jepang sangat sulit didapatkan sampai- sampai harus mengebor sampai dalam di lautnya. Sementara di Indonesia, khususnya di Kalimantan komoditi tersebut sangat melimpah.
  3. Mempelajari ketrampilan tenaga kerja. Misalnya di Jawa terdapat masyarakat yang bisa membuat ketrampilan dari batu bacan. Menjadi booming ketika dikemas oleh adanya berita bahwa SBY memberikan batu bacan kepada Obama. 
  4. Mengeksploitasi kemajuan IPTEK. Ini sudah dibuktikan oleh Max Suckenberg. 
  5. Mempelajari hubungan antar individu.
  6. Menilai rencana atau program pembangunan. Misalnya saat ini sedang diimplementasikan BPJS, maka dijadikan sebagai peluang usaha bagi apoteker untuk membuat obat dengan harga murah. 
  7. Melakukan pengamatan di tempat lain, misalnya ada di suatu tempat martabak yang sangat populer, peluang usahanya adalah bisa dengan membuka franchise dan membukanya di tempat lain.
Adanya keterlibatan Indonesia dalam AEC atau MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) mulai tahun 2015, mestinya dapat dimanfaatkan wirausahawan di Indonesia sebagai peluang berusaha. Meskipun demikian, ternyata pemerintah masih merasa ragu-ragu apakah adanya ini menjadi suatu harapan atau justru malah ancaman. Terlepas dari hal tersebut, seluruh masyarakat di Indonesia harus bersiap dan berusaha dapat survive dengan adanya sistem baru ini. Masyarakat Indonesia harus optimis bisa menjadikan hal ini sebagai harapan bukannya ancaman.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :D

Catatan Kimia Zat Toksik #3

Di pertemuan ketiga ini, dosen saya memulai kuliah dengan sebuah pertanyaan, "Mengapa bahan alam ada juga yang bersifat toksik?". Beberapa mahasiswa menjawab dengan sudut pandang mereka masing-masing. Jawaban yang tepat adalah bahwa pada dasarnya bahan alam yang awalnya tidak bersifat toksik, ketika mengalami proses metabolisme dalam tubuh, dapat mengalami berubahan modifikasi pada struktur senyawanya menjadi senyawa yang bersifat toksik. Lebih jelas terkait dengan mekanisnya sebenarnya sudah dijelaskan pada pertemuan yang lalu, silakan dibaca di sini

Di pertemuan ketiga, materinya melanjutkan yang kemarin terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi efek toksik, yang dalam catatan ini yang dibahas adalah interaksi kimia sebagai salah satu faktornya. Terkait interaksi kimia, ada berbagai macam jenis interaksi kimia antara lain:
  1. Aditif
  2. Sinergistik
  3. Potensiasi
  4. Antagonisme kimia
  5. Antagonisme fungsional
  6. Antagonisme kompetitif
  7. Antagonisme nonkompetitif
Aditif merupakan, interaksi kimia antara dua atau lebih senyawa toksik yang menghasilkan efek toksik yang saling menambahkan (efek toksiknya menjadi lebih besar, yaitu 1+1 = 2). Misalnya suatu senyawa dengan dosis tertentu apabila digunakan secara tunggal tidak mencapai efek toksik, namun ketika dikonsumsi bersama senyawa dengan efek yang sama, menjadi meningkatkan efek toksiknya sehingga bisa mencapai toksisitasnya. Contohnya adalah senyawa organofosfat, yang dikonsumsi secara tunggal dengan dosis biasanya tidak toksik, ketika digunakan bersama dengan senyawa organofosfat yang lain dengan dosis biasanya juga menjadi toksik.

Sinergistik merupakan interaksi dengan konsep yang sama seperti aditif, hanya saja, efek toksik yang ditimbulkan dapat lebih besar, karena 1+1 > 2. Contohnya adalah efek toksik yang dihasilkan akibat interaksi CCl4 dengan etanol pada hepar. Etanol dalam interaksi tersebut bertindak dalam meningkatkan absorpsi dari CCl4, etanol sendiri sudah bersifat toksik pada hati, adanya CCl4, menyebabkan etanol meningkatkan absorpsinya sehingga menyebabkan kadar CCl4 yang toksik semakin meningkat dalam tubuh sehingga efek toksik kombinasi menjadi lebih besar. 

Potensiasi merupakan interaksi kimia yang menyebabkan suatu senyawa dengan efek yang berbeda tapi mampu membuat senyawa yang lain berpotensi menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah CCl4 dengan isopropanol. Adanya isopropanol menyebabkan CCl4 berpotensi menimbulkan hepatitis. 

Antagonisme kimia, merupakan interaksi kimia antara dua senyawa yang menghasilkan suatu efek yang  saling berlawanan sehingga akibatnya jika dua senyawa toksik berinteraksi dan menghasilkan antagonisme kimia ini, maka efek toksiknya menjadi saling ditiadakan sehingga tidak jadi memberikan efek toksik. Contohnya interaksi antara Dimerkaprol dengan logam-logam toksik. Adanya interaksi menyebabkan logam-logam toksik menjadi terkelasi oleh Dimerkaprol sehingga efek toksiknya menjadi tiada atau menurun. Meskipun demikian, suatu senyawa yang tadinya tidak toksik, ketika berinteraksi dengan senyawa lainnya dapat juga menyebabkan efek toksik. Contohnya adalah interaksi antara enzim dengan suatu logam. Yang seharusnya enzim dapat berikatan dengan senyawa endogen untuk mempertahankan fisiologis tubuh, ketika berinteraksi dengan logam, enzim tersebut dapat terkompleks, sehingga tidak ada yang dapat berikatan dengan senyawa endogen. Akibatnya terjadi penumpukkan atau akumulasi senyawa endogen sehingga akhirnya menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah interaksi antara enzim kolinesterase dengan senyawa organofosfat. Interaksi tersebut dapat terjadi akibat adanya ikatan kovalen atara gugus fosfat dengan gugus hidroksi enzim. Akibatnya senyawa endogennya yaitu asetilkolin mengalami penumpukkan dan menyebabkan efek toksik berupa stimulasi saraf kolinergik yang berlebihan dengan gejala kejang-kejang dan sekresi air liur yang berlebihan.

Untuk informasi saja, senyawa organofosfat memiliki kecenderungan untuk berinteraksi lebih tinggi dengan 2-PAM (pralidoxim) sehingga apabila terdapat 2-PAM, ikatannya dengan kolinesterase akan dilepas, sehingga kolinesterase dapat tetap berikatan dengan asetilkolin.

Antagonisme fungsional, merupakan interaksi kimia yang menghasilkan efek yang berlawanan secara fungsinya. Misalnya suatu senyawa depresan dan stimulan SSP. Depresan tersebut biasanya menyebabkan depresi sehingga konsumen menjadi mengantuk, dengan diberikan stimulan SSP, maka efek mengantuk menjadi tiada. Biasanya depresan ini ada dalam obat batuk yang berkhasiat sebagai antihistamin sehingga efek sampingnya adalah depresi, dengan diberikan zat tambahan yaitu kafein yang memiliki khasiat sebagai stimulan SSP, maka efek mengantuk menjadi tiada. 

Antagonisme kompetitif, merupakan interaksi kimia antara dua senyawa yang memiliki reseptor yang sama sehingga menghasilkan efek yang saling meniadakan. Contohnya adalah interaksi antara nikotin dengan penghambat ganglionik. Keduanya memiliki reseptor yang sama. Ketika nikotin yang berikatan, maka efek nikotin adalah menstimulasi saraf kolinergik khsusunya pada ganglionik sehingga efek penghambat ganglionik tidak dapat bekerja sama sekali.

Antagonis non kompetitif, merupakan interaksi yang juga saling meniadakan efeknya, namun masing-masing memiliki reseptor yang berbeda pada sisi aktif yang berbeda pula. Misalnya interaksi antara atropin dengan antikolinesterasi (organofosfat), ketika organofosfat berinterkasi maka terjadi inaktivasi kolinesterase sehingga terjadi perangsangan yang berlebihan dari asetilkolin. Di sisi lain, atropin berikatan dengan reseptor yang berbeda dan memberikan efek yang dapat mengatasi asetilkolin yang berlebihan tersebut. Dengan demikian efeknya menjadi saling meniadakan.

Mekanisme kerja interaksi kimia dapat terjadi dengan beberapa cara, antara lain:
  1. Secara langsung. Contohnya seperti senyawa nitrat yang berinteraksi dengan mirkroba dalam usus senyawa tersebut dimodifikasi menjadi nitrit lalu dengan adanya asam lambung dan senyawa lain diperoleh nitrosamin yang mana jika kadarnya berlebihan dapat menyebabkan interaksi dengan hemoglobin sehingga ikatannya dengan oksigen menjadi terganggu.
  2. Menggser ikatan protein plasma. Contohnya adalah ikatan protein plasma dengan Tolbutamid dan golongan Sulfa, lebih lengkap telah dijelaskan di catatan sebelumnya bagian distribusi.
  3. Persaingan dalam sistem transport ginjal. Contohnya, ekskresi penisilin mengalami pengurangan akibat adanya probenesid.
  4. Ikatan kimia-reseptor (agonis/antagonis)
  5. Perubahan biotransformasi (induksi/inhibisi). Adanya suatu senyawa yang dapat menginduksi senyawa tertentu yang awalnya tidak toksik, apabila ada senyawa tersebut, maka enzim pemetabolisme dapat teraktivasi dan menyebabkan senyawa yang tadinya tidak toksik menjadi toksik. Contohnya adalah Kodein yang diinduksi metabolismenya oleh fenobarbital. Kodein dimetabolisme dapat dihasilkan senyawa morfin yang bersifat toksik. Dapat pula interaksi inhibisi menyebabkan efek toksik. Misalnya interaksi fenitoin yang diinhibisi metabolismenya oleh INH. Ketika enzim pemetabolismenya diinaktivasi oleh INH, maka fenitoin tidak termetabolisme menyebabkan kadarnya menjadi meningkat dan meningkatkan toksisitasnya.
Selanjutnya, selesai membahas seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi efek toksik, materi beralih ke Teratogen.

Teratogen adalah zat atau sesuatu yang dapat menyebabkan atau meningkatkan kejadiaan cacat bawaan atau congenital defects (CD). Cacat bawaan adalah ketidaknormalan bayi baru lahir (neonatus) baik secara morfologi maupun biokimia, yang disebabkan karena adanya gangguan perkembangan normal, baik embrio maupun fetus dalam rahim (uterus) menyebabkan ketidaknormalan. Malformasi bawaan (congenital defects) adalah ketidaknormalan anatomi bayi baru lahir, jadi ini yang dimaksud cacat secara morfologi.

Kejadian cacat bawaan telah dicatat ratusan tahun yang lalu, di antaranya oleh:
  1. Murphy, tahun 1928, tercatat 14 bayi dari 320 wanita hamil yang menjalani radiasi di awal kehamilan mengalami lingkar kepala kecil dan cacat mental. Oleh karena itu, saat ini, untuk wanita yang sedang hamil tidak diperbolehkan dirontgen.
  2. Hale, 1933, diketahui adanya bayi babi yang mengalami anoftalmia atau tidak memiliki mata akibat induknya mengalami kekurangan vitamin A apda sebelum dan bulan ke-1 kehamilan. Penemuan ini, membuat ibu-ibu yang sedang hamil atau yang akan hamil untuk menjaga gizinya agar jangan sampai kekurangan vitamin yang dibutuhkan oleh perkembangan janin.
  3. Warkenji dan Schraffenberger, 1944, tercatat adanya janin akibat kekurangan gizi, sehingga untuk ibu hamil diminta untuk menjaga pola makannya, jangan sampai malas makan karena akibatnya dapat melahirkan bayi yang cacat. 
  4. Gregg, 1941, dicatat adanya bayi yang mengalami kebutaan, ketulian, bahkan kematian akibat ibunya yang menderita penyakit rubela. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kesehatan bagi ibu hamil, jangan sampai terinfeksi.
  5. Lanz dan Knapp, 1962. Kurang lebih 1000 bayi mengalami fokomelia atau cacat anggota badan yang lahir dari ibu yang menggunakan talidomid sebagai obat mual di awal kehamilan. Kejadian cacat inilah yang penting bagi perkembangan ilmu kefarmasian karena kejadian tersebut diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan. Oleh karena itu, sejak kejadian tersebut, setiap obat-obatan perlu untuk diuji potensi teratogeniknya. Meskipun bayi dalam kandugan diselimuti oleh sawar plasenta, namun sesungguhnya tidak sepenuhnya sawar plasenta tesebut melindungi embrio atau fetus dari zat kimia atau obat yang digunakan oleh ibu. 
Cacat bawaan merupakan malapetaka seumur hidup bagi anak itu dan bisa juga untuk keturunannya sehingga perlu untuk dicegah. Semua obat, zat makanan, pestisida, bahan pencemar lingkungan dan zat kimia lain, harus diuji teratogeniknya. Pemberian obat pada wanita hamil, khususnya pada trimester pertama hendaknya dihindari. Jika terpaska harus minum obat, diberikan obat yang benar-benar terbukti tidak memiliki efek teratogenik.

Berikut adalah etiologi cacat bawaan:


Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Penyebab dari cacat bawaan antara lain mutasi genetik, penyimpangan kromosom dan pengaruh luar baik eksogen maupun multifaktorial. Adanya mutasi genetik dan penyimpangan kromosom dapat menyebabkan terganggunya informasi genetik pada perkembangan normal, sehingga apabila terjadi mutasi genentik terjadi perkembangan abnormal berupa gangguan dominan maupun resesif (contohnya akan dijelaskan setelah ini), sementara pada penyimpangan kromosom dapat menyebabkan gangguan perkembangan abnormal berupa sindrom kelainan kromosom.

Sementara penyebab yang berasal dari luar, untuk yang pengaruh eksogen dapat menyebabkan gangguan perkembangan normal berupa organogenesis biasanya terjadi pada trimester pertama (saat perkembangan organ). Untuk yang penyebab dari multifaktorial dapat mempengaruhi perkembangan normal yaitu fetus yang biasanya terjadi setelah trimester pertama. Keempat penyebab di atas pada akhirnya agar berujung kecacatan pada neonatus.

Mutasi Genetik dan Penyimpangan Kromosom.
Cacat bawaan yang disebabkan oleh mutasi genetik pada sel benih dan penyimpangan kromosom terjadi sebanyak 25% dari kejadian cacat. Mutasi genetik dapat berupa mutasi yang dominan maupun resesif. Jika dominan maka akan diekspresikan secara langsung. Sementara untuk yang resesif, akan diekspresikan setelah keadaannya homozigot, contohnya adalah penyakit hemofilia dan talasemia. Hemofilia merupakan gangguan berupa sulitnya darah membeku sementara talaseima adalah adanya darah merah yang tidak normal sehingga masa hidup darah merah tersebut menjadi pendek.

Terkait dengan penyimpangan kromosom, diketahui bahwa manusia terdiri dari 46 kromosom yaitu 22 pasang otosom dan 2 kromosom seks yaitu XX (wanita) dan XY (pria). Penyimpangan dapat terjadi misalnya akibat adanya penambahan atau pengurangan kromosom. Kecacatan yang diakibatkan adanya penyimpangan kromosom ini antara lain:

  1. Sindrom Turner, terjadi pada wanita akibat kekurangan satu kromosom X sehingga kromosom seksnya menjadi XO. Terjadi degenerasi ovarium dan gangguan ciri seks sekunder. 
  2. Sindrom Kinefelter, terjadi pada pria, akibat kelebihan kromosom X sehingga kromosom seksnya menjadi XXY. Terjadi gangguan pertumbuhan alat kelamin dan kemandulan. 
  3. Sindrom Down, merupakan trisomi kromosom 21, artinya pada kromosom 21 lebih 1 kromosom. Akibatnya terjadi defisiensi mental, mata juling, tengkorak pendek-lebar, tangan lebar-jari pendek (mongolisme).
  4. Sindrom Prader Will, terjadi kehilangan kromosom 15 (terkait dengan rasa lapar) sehingga penderita mengalami kesulitan mengatasi rasa lapar akibat hipotalamus yang tidak berfungsi. Tubuh menjadi gemuk, biasanya jantung akan bekerja lebih keras, akibatnya menyebabkan rasa letih pada jantung, dan masa hidupnya menjadi tidak lama. 
Terkait dengan pengaruh eksogen berupa lingkungan, penyebab ini merupakan kejadian kecacatan pada 10% yang tercatat. Pada kasus ini, gennya normal, tetapi ekspresinya terganggu. Contohnya antara lain:
  1. Akibat adanya kuman penyebab infeksi, tanpa adanya kuman, neonatus dapat tumbuh dengan sehat, namun ketika ada, maka dapat terjadi gangguan. Misalnya penyakit yang disebabkan oleh virus seperti Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex, dan HIV/AIDS yang memang telah positif diidentifikasi sebagai penyebab malformasi. Contoh lainnya adalah seorang ibu hamil yang terkena parasit Toxoplasma gondii yang mana dapat menyebabkan hydrocephalus dan ocular defects. Contoh lainnya lagi adalah sifilis yang dapat menyebabkan kecacatan pendengaran dan keterbelakangan mental. Diperkirakan sekarang hingga 65% anak yang dilahirkan ibu dengan AIDS dan kebanyakan penyakit berkembang menyebabkan retarded growth, mircocephaly, dan craniofacial dysmorphia
  2. Akibat radiasi. Sudah ada pengujian yang menemukan bawah pada dosis kecil sinar X sekitar 5 R pada tikus hamil dapat menyebabkan gangguan saraf dan skeletal yang bervariasi pada fetus, dan bahkan pada dosis yang lebih kecil dapat menyebabkan mutasi pada sel yang mana selanjutnya tetap dapat menyebabkan cacat bawaan. Dosis maksimum yang aman untuk manusia masih belum diketahui, yang jelas diketahui adalah pada dosis 25 R dapat menyebabkan kerusakan pada SSP. Direkomendasikan untuk ibu hamil untuk tidak mengkonsumsi lebih dari 0,5 R dosis selama periode kehamilan.
  3. Senyawa teratogen. Banyak senyawa teratogen yang toksik pada embrio. Senyawa-senyawa teratogen tersebut antara lain organofosfat (seperti malation), agen antitumor, metilmerkuri, dan antimetabolit (antagonis asam folat) yang mengganggu metabolisme osidatif atau sintesis glikoprotein. Contoh lainnya adalah Dietilbestrol, insidensinya rendah, terkait dengan malformasi congenital dari sistem reproduktif dan peningkatan risiko karsinoma di vagina dan serviks. Contoh lainnya lagi asam retionat, talidomid, dan asam valproat dengan mekanismenya tersendiri.
Selain tiga hal yang disebutkan di atas, sudah ada juga zat teratogen lainnya yang ditemukan dalam uji menggunakan hewan coba yang tentunya tetap perlu diwaspadai dalam penggunaannya untuk manusia. Zat-zat teratogen tersebut antara lain:
  1. Antagonis vitamin
  2. Kelebihan atau kekurangan hormon kortikoid, tiroksin, vasopresin, insulin, andogen, dan estrogen.
  3. Zat toksik alam, seperti aflatoksin B, okratoksin A, ergotamin, dan nikotin.
  4. Kekurangan/kelebihan gizi dalam makanan, seperti vitamin A, D, C, nikotinamid, Zn, Mn, Mg, dan Co.
  5. Zat warna azo seperti biru triptan, biru evans, dan biru niagara. 
  6. Antibiotik seperti daktinomisin, penisilin, streptomisin, dan tetrasiklin.
  7. Obat golongan sulfonamida seperti sulfanilamida, antidiabetika, sulfonilurea dan turunannya, difenilhindantoin, hidroksiurea, imipramin, meklizin, pilokarpin, kinin, reserpin, talidomid, triparanol, alkaloid veratrum, dan alkaloid vinka.
Sulfonilurea menjadi zat teratogen karena senyawa ini dapat bersaingan dengan PABA yang mana dibutuhkan dalam pembentukkan asam folat meskipun asam folat dapat diperoleh dari makanan. 

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Terima kasih sudah berkunjung :D

Catatan Dasar Perancangan Obat dan Teknik Sintesis Obat #2

Pada pertemuan kedua ini, sedikit dibahas kembali mengenai reaksi nukleofilik-elektrofilik, terkait dengan reaksi Friedel Craft yang menambahkan rantai alkil atau heterealkil terhadap alkil atau fenil, juga terkait dengan reaksi nitrasi dan Grignard. Selain itu, macam-macam reaksi lainnya juga dapat terjadi seperti klorinasi, brominasi, sulfonasi, klorosulfonasi, dan diazocoupling. Ringkasan reaksinya terdapat pada tabel di bawah ini:


Inti dari pertemuan kedua ini adalah mengulang kembali reaksi-reaksi yang dapat terjadi pada senyawa kimia, agar ketika masuk ke dalam pelajaran sintesis obatnya menjadi lebih mengerti. Reaksi-reaksi kimia yang diajari antara lain mengenai:
  1. Reaksi senyawa aromatik yang dibuat dari perpindahan nukleofilik dari garam diazonium.
  2. Reaksi pada senyawa karbonil, yaitu substitusi karbon alfa baik dengan mekanisme halogenasi menggunakan katalis asam, kondensasi dengan aldehid atau keton, kondensasi dengan ester, dan tautomerisasi dengan katalis basa atau asam.
  3. Reaksi pembentukkan enamin yang mana dalam hal ini terkait dengan adanya reaksi alkilasi dan asilasi enamin. 
  4. Reaksi terkait dengan senyawa aldol seperti reaksi kondensasi aldol dengan menggunakan katalis basa, reaksi dehidrasi produk aldol, reaksi siklik aldol, reaksi kondenasasi Claisen.
  5. Reaksi sintesis ester malonat.
Sesungguhnya masih banyak macam reaksinya, hanya saja hanya 5 poin yang dapat dipelajari pada pertemuan kedua tersebut. Reaksi lainnya akan dilanjutkan pada pertemuan berikutnya.

Reaksi senyawa aromatik yang dibuat dengan perpindahan nukleofilik dari garam diazonium. Berikut adalah ringkasan reaksinya:


Yang perlu diperhatikan dalam reaksi ini adalah suhunya. Jelas bahwa reaksi ini melibatkan reaksi pembentukkan garam diazonium. Reaksi ini dilakukan pada suhu di bawah 5 derajat selsius, layaknya reaksi pada nitrimetri, bedanya, suhu juga dijaga di bagian atas, jadi atas bawah harus dingin, tidak hanya yang bagian bawah saja. Perlu juga untuk memperhatikan pelarutnya, jangan sampai ada yang mengkristal.  Harus diperhatikan seluruh garam diazonium telah terbentuk, jika semua sudah habis bereaksi, maka dapat berlanjut ke reaksi untuk memasukkan nukleofilik ke dalam senyawa aril tersebut. Reaksi tersebut memerlukan suhu 60 derajat selsius, jadi perlu untuk dilakukan pemanasan. Sangat penting untuk memastikan dulu seluruh zat telah habis bereaksi membentuk garam diazonium. Jika belum semua lalu langsung berlanjut ke reaksi berikutnya yang membutuhkan pemanasan, maka akan terjadi pembentukkan fenol, sehingga reaksinya menjadi gagal. 

Reaksi pada senyawa karbonil dengan substitusi karbon alfa: halogenasi menggunakan katalis asam.

Jadi, terjadi reaksi substitusi dari elektrofil pada karbon alfa. Secara umum reaksi substitusi pada karbon alfa terjadi melalui pembentukkan ion enolat intermediat. Berikut adalah mekanisme reaksi pembentukkan ion enolat intermediat:


Ketika sudah terbentuk ion enolat intermediat, maka dapat disubstitusi dengan halogen. Pada contoh di bawah ini, terjadi reaksi substitusi Br terhadap karbon alfa. Pada reaksi pertama yang menggunakan Br2 dan asam (CH3COOH), reaksi yang terjadi dapat menghasilkan substitusi 1 atom Br atau 2 atom Br sehingga reaksi menjadi tidak efektif. Reaksi halogenasi ini dapat menggantikan satu atau lebih hidrogen alfa tergantung dari berapa banyak halogen yang digunakan. Apabila menginginkan hanya untuk menghasilkan substitusi 1 atom Br, maka dapat digunakan NBS tanpa suatu katalis (dapat dilihat pada gambar) dan tanpa pelarut, sehingga hasilnya menjadi lebih efektif. 


Di bawah ini adalah mekanisme yang lebih lengkap yang mana melibatkan adanya reaksi pembentukkan ion fenolat.


Reaksi pada senyawa karbonil dengan substitusi karbon alfa: kondensasi aldehid atau keton.

Prinsip reaksinya masih sama, yaitu substitusi suatu gugus ke dalam karbon alfa yang untuk reaksi ini, yang disubstitusi adalah gugus aldehid atau keton. Protonasi dari alkoksida akan menghasilkan senywa alfa, beta-hydroxy carbonyl. Reaksi dehidrasi lebih lanjut dapat menghasilkan alfa, beta-unsaturated carbonyl. Mekanisme reaksinya adalah seperti gambar di bawah ini:


Reaksi pada senyawa karbonil dengan substitusi karbon alfa: kondensasi ester.

Pada reaksi ini, enolat yang ditambahkan ester akan membentuk tetrahedral intermediat. Eliminasi dari senyawa leaving group (alkoksida) memberikan produk substitusi berupa alfa, beta-carbonyl, selanjutnya bisa didapatkan alfa, beta-diketon. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:


Reaksi pada senyawa karbonil dengan substitusi karbon alfa: tautomerisasi dengan katalis basa.

Tautomerisasi adalah reaksi yang terjadi antara senyawa-senyawa organik yang yang menghasilkan antarubahan. Seperti yang umumnya dijumpai, reaksi ini dihasilkan oleh perpindahan atom hidrogen atau proton yang diikuti dengan pergantian ikatan tunggal dengan ikatan ganda di sebelahnya. Berikut adalah reaksi senyawa keton yang mengalami tautomerisasi menjadi suatu senyawa enol:


Reaksi pada senyawa karbonil dengan substitusi karbon alfa: tautomerisasi dengan katalis asam.


Reaksi pembentukkan enamin.
Keton atau aldehid dapat bereaksi dengan amin sekunder membentuk enamin. Enamin ini memiliki karbon alfa yang nukleofilik yang mana dapat digunakan untuk menyerang elektrofil.


Berikut adalah mekanisme reaksi pembentukkan enamin:


Reaksi alkilasi enamin.

Enamin menggantikan posisi halida dari alkil halida yang reaktif, menghasilkan suatu garam inimium teralkilasi. Garam tersebut dapat dihidrolisis menjadi keton di bawah kondisi asam. Berikut adalah contoh reaksinya:


Reaksi asilasi enamin.

Enamin dapat menyerang asil halida, membentuk garam asil iminium. Hidrolisis dari garam iminium menghasilkan beta diketon.


Reaksi kondensasi aldol.

Di bawah kondisi basa, kondensasi aldol melibatkan penambahan nukleofilik dari ion enolat ke gugus karbonil yang lain. Ketika reaksinya terjadi pada temperatur rendah, beta-hidroksi karbonil dapat diisolasi. Pemanasan akan mendehidrasi produk aldol menjadi senyawa alfa-beta karbonil yang tidak jenuh. Berikut adalah mekanisme reaksinya:


Reaksi siklik aldol.

Dalam hal ini, dapat terjadi suatu reaksi intramolekuler pada aldol diketon yang mana biasa digunakan untuk membuat lima atau enam anggota cincin karbon. Cincin yang terbentuk dapat lebih kecil atau lebih besar dari lima atau enam anggota tetapi tidak disukai karena adanya hambatan sterik atau entropi. Jadi, pada dasarnya semua macam cincin dapat terbentuk, tetapi tetap dipertimbangkan mana yang paling mungkin. Dalam reaksi ini, karbon alfa bersifat nukleofilik, tetapi yang paling kuat adalah hidrogen alfa yang posisinya lebih bebas tanpa gangguan efek sterik. Berikut adalah contoh mekanisme reaksinya:


Reaksi kondensasi Claisen.

Hasil dari reaksi ini didapatkan ketika molekul ester mengalami substitusi nukleofilik dari asil oleh sebuah enolat. Berikut adalah contoh mekanisme reaksinya:


Reaksi silang kondensasi Claisen dengan Keton dan Ester.

Reaksi ini yang terjadi antara keton dan ester juga mungkin terjadi. Keton lebih asam dibandingkan dengan ester, dan komponen dari keton lebih mungkin terdeprotonasi dan menjadi komponen enolat pada saat kondensasi. Hidrogen pada karbon alfa di eolat lebih mudah dilepas dari pada di ester, jadi yang bertindak menjadi nukleofil adalah keton yang mana akan menjadi enolat.


Reaksi sintesis ester malonat.

Sistesis ester malonat membuat suatu turunan asam asetat tersubstitusi. Ester malonat adalah suatu karbon yang teralkilasi atau terasilasi yang mana karbon alfa dari gugus karbonil dan turunan yang dihasilkan dihidrolisis dan didekarboksilasi. Berikut adalah contoh mekanisme reaksinya:


Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :D

Saturday, September 20, 2014

Catatan Kimia Zat Toksik #2

Pada pertemuan kedua ini yang dibahas adalah faktor-faktor yang mempengaruhi zat toksik. Seperti yang telah dijelaskan pada catatan esbelumnya, senyawa toksik tidak langsung memberikan efek toksik, tergantung dari jumlahnya. Dalam jumlah yang sesuai, suatu senyawa justru dapat dijadikan sebagai obat. 

Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi respon toksik:
  1. Cara pemberian
  2. Absorpsi
  3. Distribusi
  4. Ekskresi
  5. Metabolisme baik fase I maupun fase II
Cara pemberian, absorpsi, distribusi, dan ekskresi merupakan faktor-faktor yang termasuk ke dalam faktor disposisi. Jadi, metabolisme lain sendiri. 

Cara pemberian.
Untuk dapat menimbulkan efek toksik, tentunya toksikan harus kontak dengan sistem biologis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga, responnya dapat berupa letal atau non letal. Letal itu biasanya karena toksikan tersebut memiliki reseptor tertentu, sementara yang memberikan efek non letal itu melalui proses dari merusak jaringan terlebih dahulu. Efek yang ditimbulkan juga dapat berupa lokal atau sistemik. Untuk yang lokal, toksikan akan langsung memberikan efeknya saat pertama kali masuk, sementara yang sistemik, toksikan harus masuk terlebih dahulu dan tersirkulasi dalam darah terlebih dahulu lalu memberikan efek ketika sampai di target. Jalur masuk toksikan yang paling umum adalah jalur sistemik, jadi masuk ke dalam sistem pencernaan dulu, diabsorpsi, didistribusi, baru sampai ke tempat targetnya. 

Berikut adalah beberapa hal yang terjadi apabila toksikan diberikan melalui:
  • Alat pencernaan. Toksikan akan mengalmai hidrolisis, tetapi tidak selalu. Dengan adanya hidrolisis ini maka efek toksik menjadi berkurang atau menjadi tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang tergigit ular, lalu kita berniat menolongnya dengan cara menghisap darah pada luka bekas gigitan orang tersebut dengan tujuan agar bisa ularnya tidak semua masuk ke dalam tubuh orang tersebut, tidak perlu khawatir, karena bisa ular yang tertelan, akan masuk ke dalam saluran cerna dan mengalami hidrolisis, sehingga menjadi inaktif sehingga tidak akan menimbulkan efek toksik sama sekali.
  • Paru-paru. Jika toksikan masuk ke dalam paru-paru, toksikan dapat memberikan efek secara cepat dan langsung karena di dalam paru-paru hampir tidak tersedia enzim. Apalagi alveoli yang terdiri dair membran satu sel dan luas permukaannya luas, maka akan sangat banyak yang dapat masuk sehingga efeknya menjadi cepat.
  • Kulit. Jika toksikan masuk melalui kulit, efeknya akan lambat, karena kulit terdiri dari beberapa lapisan sel epitel, dan bisa jadi toksikan tidak akan sampai untuk memberikan efeknya. Meskipun demikian, apabila paparannya secara terus menerus misalnya sampai satu bulan tidak ada hentinya, bukan tidak mungkin toksikan tersebut dapat masuk menembus kulit pada akhirnya. 
Berikut adalah contoh senyawa obat dengan dosis toksik yang diberikan melalui cara pemberian yang berbeda-beda, dan hasilnya menunjukkan bahwa tiap cara pemberian memberikan efek toksik yang berbeda-beda. 


Agar suatu senyawa dapat masuk melewati membran, maka senyawa tersebut harus merupakan senyawa yang dapat mengikuti salah satu dari berbagai macam cara untuk masuk ke dalam membran. Beberapa caranya antara lain:
  1. Difusi pasif, artinya senyawa tersebut harus memiliki sifat seperti membran lipid bilayer sehingga dapat  berdifusi dengan mudah, dan tentunya konsentrasinya harus cukup besar, apabila terlalu kecil maka tidak akan dapat terabsorpsi.
  2. Filtrasi, dapat melalui pori-pori atau saluran air pada membran. Melewati membran dengan cara filtrasi ini biasanya digunakan untuk senyawa-senyawa yang bersifat hidrofilik dengan bobot molekul rendah, seperti hidrazin (NHNH2), amonia (NH3), dan sianida. 
  3. Difusi terfasilitasi (harus memiliki perantara (carrier) dan digunakan biasanya untuk senyawa-senyawa endogen.
  4. Transport aktif.
  5. Pinositosis.
Transport aktif biasanya digunakan untuk senyawa yang memiliki gradien konsentrasi yang berlawanan, ada perantara (carrier), memerlukan energi metabolik, dan juga untuk senyawa endogen atau senyawa yang mirip dengan senyawa endogen. Contoh senyawa toksikan yang melalui membran dengan cara ini adlaah 5-Fluorourasil. Karena toksikan ini mirip dengan senyawa endogen yaitu urasil, maka toksikan tersebut dapat tertransportasikan secara aktif. 


Seperti pepatah yang mengatakan bahwa ada banyak jalan menuju Roma, teraplikasi juga pada toksikan, beberapa toksikan apabila tidak bisa melalui membran dengan salah satu cara di atas, maka dapat melaluinya dengan cara lainnya sehingga pada akhirnya dapat tetap masuk. 

Absorpsi.
Salah satu mekanismenya adalah melalui membran, jelas seperti yang dijelaskan di atas. Absorpsi yang terjadi dapat melalui kulit, paru-paru, dan saluran cerna. 

Kulit terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian luar dan dalam. Di bagian luar tidak terdapat pembuluh darah, tetapi banyak memiliki pori-pori. Sementara kulit bagian dalam terdapat pembuluh darah yang bersifat permiabel. Zat atau senyawa yang dapat melewati atau menembus kulit adalah zat-zat yang bersifat lipofilik atau senyawa polar tetapi kecil. 

Pada paru-paru, absorpsi berlangsung dengan cepat karena memiliki permukaan yang luas seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bersifat permeabel terhadap lipid baik solubel maupun insolubel.

Saluran cerna memiliki berbagai macam barrier lipid, sehingga lipid solubel lebih baik diabsorpsi. Untuk senyawa-senyawa yang dapat terionisasi, maka yang dapat diabsorpsi adalah yang berada dalam bentuk nonionik atau tidak terion. Dalam hal ini, bukan berarti senyawa yang berupa ion tidak dapat terabsorpsi, kenyataannya terdapat suatu senyawa yaitu Paraquat, yang dapat terabsorpsi. Namun dalam hal ini, senyawa tersebut tidak terabsorpsi dengan cara difusi, melainkan terabsorpsi dengan cara transport aktif seperti yang disebutkan sebelumnya, jika tidak bisa dengan salah satu cara, maka dapat melalui cara yang lainnya. 


Paraquat merupakan senyawa toksik, yang digunakan sebagai pestisida. 

Sebelumnya juga disampaikan bahwa di dalam saluran cerna, suatu senyawa dapat terhidrolisis. Hidrolisis yang terjadi dapat meningkatkan atau menurunkan sifat toksik suatu zat. Terdapat senyawa yang sebelum dihidrolisis bukan merupakan senyawa toksik, namun setelah dihidrolisis menjadi senyawa toksik. Contohnya adalah Sikasin, suatu glikosida azoksi metanol, yang dihidrolisis menjadi Metil azoksi metanol yang bersifat karsinogen. 


Contoh lainnya adalah apabila terdapat senyawa nitrat atau nitrit, maka dapat terhidrolisis menjadi nitrosamin yang mana bersifat karsiongen methemoglobin. 


Sementara itu, apabila senyawa nitrit terdapat dalam jumlah besar, maka dapat berbahaya karena dapat mengurangi kemampuan hemoglobin dalam menigkat oksigen.

Distribusi.
Berbeda dengan absorpsi, mekanisme distribusi memiliki caranya yang berbeda dalam menangkal efek toksik. Caranya antara lain:
  1. Dengan adanya ikatan dengan protein plasma. Apabila toksikan berikatan dengan protein plasma, maka hanya sedikit yang terbebas untuk memberikan efek toksiknya. Untuk informasi saja, setiap orang memiliki sensitivitas yang berbeda dalam ikatan antara senyawa dengan protein plasma. Misalnya obat hipoglikemik, pada orang biasa akan ada 90% obatnya yang terikat dengan protein plasmanya sehingga hanya 10% yang terbebas untuk menurunkan kadar gula darah mencapai normal. Sementara, pada orang tertentu, yang dapat berikatan bisa jadi hanya 80% sehingga yang terbebas mencapai 20%, dua kali lipat, akibatnya, efek hipoglikemik menjadi "kebablasan", kadar gula darah bahkan di bawah dari normal sehingga dapat membahayakan orang tersebut. 
  2. Adanya lokalisasi jaringan. Untuk toksikan--tidak hanya toksikan, setiap senyawa--yang memiliki lipofilisitas tinggi, dapat terdeposit dalam jarignan lemak, artinya toksikan tersebut teramankan dan tidak dapat memberikan efek toksiknya. 
  3. Level atau tingkat protein plasma. Kadar ini berkaitan dengan jumlah ikatan yang dapat terbentuk, apabila konsentrasinya kecil, maka tidak banyak toksikan yang dapat berikatan, akibatnya akan ada lebih banyak toksikan yang terbebas untuk memberikan efek toksiknya. 
  4. Volume distribusi, termasuk distribusi plasma, antarsel, dan dalam sel.
Untuk senyawa tertentu, ternyata memiliki distribusi yang berbeda pada organ tertentu. Satu senyawa tersebut dapat lebih banyak terdistribusi pada satu organ, sementara hanya sedikit pada organ yang lain. Contohnya adalah senyawa aril alkilamin yang mana dapat merangsang sistem saraf pusat. Di bawah ini adalah grafiknya yang menjelaskan bahwa senyawa ini lebih banyak terdistribusi di adrenal, sementara hanya sedikit yang didistribusi ke hati.


Ekskresi.
Dalam hal ini, jelas toksikan dapat tereliminasi, di antaranya dapat melalui urin dari ginjal, empedu, paru-paru, saluran cerna, atau melalui susu, keringat, dan ludah. 

Metabolisme.
Pada mekanisme ini, terbagi menjadi dua, yaitu fase I dan fase II. Fase I disebut juga biotransformasi, sementara fase II disebut fase konjugasi. Pada fase I, biasanya terjadi reaksi oksidasi, reduksi, dam hidrolisis. Tujuan dari adanya metabolisme adalah mendapatkan produk yang sangat polar sehingga dapat dieliminasi dari tubuh. Mekanisme ini terjadi di dalam hati. Meskipun demikian, akibat dari metabolisme ini, suatu senyawa dapat mengalami bioaktivasi atau biodegradasi.

Bioaktivasi merupakan suatu reaksi yang menyebabkan suatu senyawa mengalami perubahan menjadi senyawa yang aktif. Contohnya adalah senyawa Bromobenzen yang awalnya bukan senyawa yang berbahaya sama sekali, ketika dimetabolisme dapat diubah menjadi Bromobenzen 3,4-oksida yang berbahaya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:


Contoh lainnya adalah adanya pembentukkan senyawa N-hidroksi yang bersifat karsinogen.


Pembentukkan senyawa toksik juga dapat dilakukan melalui jalur lain, misalnya dehidrogenasi seperti pada contoh di bawah ini:


Selain faktor-faktor utama yang telah disebutkan di atas seperti cara pemberian, absorpsi sampai metabolisme, juga terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi efek toksik, tetapi pengaruhnya tidak terlalu besar, yaitu:

  1. Faktor penerima (makhluk hidup), terdiri dari spesies, strain, individu (setiap hal individu atau spesies memiliki karakteristik dalam tubuh yang bervariasi, misalnya terkait waktu pengosongan lambung, tiap individu berbeda-beda sehingga dapat mempengaruhi efek toksik. Perbedaan lainnya juga pada adanya enzim pemetabolisme, beda spesies dapat memiliki perbedaan enzim pemetabolisme yang dimiliki; seks, status hormonal, dan kehamilan; umur, juga terkait dengan adanya perbedaan pada enzim pemetabolisme antara bayi, orang dewasa, dan orang tua; status gizi; dan penyakit, misalnya penyakit hati dan ginjal, maka terlihat pengaruhnya pada kemampuan metabolisme dan eksresi.
  2. Faktor lingkungan, terdiri dari fisik, misalnya suhu, tekanan barometik, iradiasi, dan cahaya.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :D

Friday, September 19, 2014

Catatan SPO #3

Sedikit mengulang pada pertemuan kemarin, kembali dibahas sedikit tentang sistem floating, swelling, bioadhesivei, dan high density.

Pada sistem floating, bulk density-nya lebih rendah daripada cairan dalam saluran pencernaan sehingga dapat mengembang. Pada bioadhesive, yang perlu diperhatikan adalah polimer yagg digunakan tidak boleh sembarangan, harus yang bersifat lengket agar dapat melekat pada membran mukosa tubuh. Berikut adalah visualisasinya:


Ikatan yang terdapat pada bioadhesive dengan membran mukosa adalah ikatan hidrogen dan van der wals

Swelling merupakan sediaan yang dapat mengembang sehingga dapat tertahan di dalam lambung, tidak masuk ke dalam pilorus. Sementara High Density System berkaitan dengan berat jenis sehingga memerlukan eksipien yang berat, dengan demikian diharapkan dapat mengendap. Contoh eksipien yang dapat digunakan antara lain Barium Sulfat, Zink Oksida, Besi, dan Titanium Dioksida. Terkait dengan hal ini, sudah jarang yang menggunakan eksipien ini, karena adanya kemungkinan berinteraksi dengan zat aktif. Jika eksipien dapat berinteraksi dengan eksipien apa gunanya? Padahal definisi dari eksipien itu sendiri merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam zat aktif tetapi tidak dapat beriteraksi dengan zat aktif. 

Adanya keempat macam sistem ini, diperoleh dari mempelajari sifat fisiologi dari saluran cerna itu sendiri, salah satunya adalah mengenai aktivitas kontraktil lambung pada saat puasa. Lambung dan duodenum menunjukkan pola siklik aktivitas kontraktil yang mana terdiri dari beberapa fase, yaitu:
Fase I  : diam, tidak terjadi kontraksi.
Fase II : kontraksi secara berseling dengan amplitudo kecil.
Fase III: Konraksi maksimal 10-15 menit.
Selama kontraksi, pilorus mengalami relaksasi.

Fase III ini akan berulang secara terus menerus sampai lambung kosong. Apabila lambung diisi secara penuh maka lambung akan terasa tidak nyaman akibat adanya peningkatan kontraksi yang tajam. Bagi orang yang sensitif, adanya kontraksi sedikit dapat menyebabkan rasa nyeri. Terkait dengan obat-obat dengan konsep floating, diupayakan digunakan saat lambung tidak kosong, karena obat tersebut memerlukan cairan lambung agar dapat mengapung. Obat dengan mekanisme floating ini dapat mengapung dan tidak akan pernah masuk ke bawah ke dalam pilorus seumpama bola pingpong yang mengapung di atas air dalam wadah yang jika ditambah aliran air dari atas bola pingpong, bola pingpong tersebut hanya akan berputar-putar saja. 

Pada saat fase III, diameter pilorus akan mencapai 10 mm. Oleh karena itu, untuk obat dengan mekanisme swelling harus memiliki diameter lebih dari 10 mm, atau diameter pengembangannya lebih dari 10 mm. 

Masih terkait dengan waktu pengosongan lambung, suatu parameter, yaitu ukuran partikel, ternyata tidak begitu mempengaruhi waktu pengosongan lambung. Terdapat suatu percobaan menggunakan pellet ukuran 1 mm dan pellet ukuran 9-10 mm. Ternyata ditunjukkan bahwa pellet yang berukuran 1 mm, sebanyak 50% nya telah meninggalkan lambung dalam waktu 2-3 jam. Berbeda dengan pellet yang berukuran 7-10 mm, 50% nya baru dapat meninggalkan waktu 1 jam lebih lama yaitu sekitar 3-4 jam. Dengan demikian, makin besar ukuran obatnya akan semakin lama bertahan dalam lambung. Ibaratnya sebuah pintu, siswa-siswa berbadan kecil yang bergerombol akan lebih mudah keluar lewat pintu dibandingkan dengan siswa-siswa berbadan besar yang bergerombol keluar lewat pintu yang sama.

Ukuran pilorus sekitar 12 mm, pada keadaan kenyang sfyngter kadang tertutup. Jadi untuk obat dengan sistem swelling diameternya dapat 10 mm agar diharapkan pengembangannya bisa melebihi 12 mm. Contohnya saja pada suatu percobaan, metformin memiliki diameter 12 mm, kemudian di dalam lambung dapat mengembang hingga 18 mm, hal tersebut dicobakan kepada volunteer yang mengkonsumsi 1000 kalori dengan 50% lemak, didapatkan waktu retensi tablet tersebut di dalam lambung sekitar 12,6 jam. Terdapat percobaan lain menggunakan tablet yang sangat besar dan bersifat nondisintegrating, waktu retensinya dapat mencapai 20 jam. Sesungguhnya tidak perlu khawatir akan ada akumulasi obat dalam lambung, karena ketika obat sudah lepas, maka akan terbentuk pori-pori. Pada dasarnya adanya pori akan menyebabkan obat menjadi rapuh dan akan hancur secara alami, lalu tereliminasi keluar dari lambung.

Untuk obat dengan sistem floating, eksipien yang biasa digunakan antara lain Poliakrilat, Poliakrilamid, Metakrilat, Metakrilat Hidroksipropil, dan Polihidroksietil. Yang penting harus berbentuk hidrogel sehingga dapat mengembang dan menmbengkak dan runtuh pada kekuatan mekanik yang lemah. Dengan pengetahuan ini, selain digunakan sebagai obat, sistem ini juga dimanfaatkan untuk diet.

Mekanisme sistem floating ini ada yang bekerja dengan cara mengembang, ada yang dengan bulk density yang rendah, dan ada pula yang dengan menggunakan matriks hidrofilik. Terkait dengan matriks, biasanya matriks yang digunakan adalah selulosa-eter polimer khususnya hidroksipropil metilselulosa, eksipien ini bisa mengapung selama 3-4 jam. Eksipien tidak hanya itu, kata dosen saya, berdasarkan penelitian yang dilakukan bersama dengan mahasiswanya, ternyata eksipien golongan alginat derivat pati lebih baik karena dapat mengapung sampai 20 jam.

Apabila mengkonsumsi obat dengan sistem floating, perlu untuk diperhatikan ketersediaan cairan, jangan sampai menggunakannya pada saat lambung kosong, lalu jika kosong obat mau mengapung di mana? Jadi sebagai apoteker, perlu untuk memberikan informasi kepada pasien bahwa dalam menggunakannya harus disertai dengan banyak minum agar tersedia cairan yang cukup. Obat dengan sistem floating ini perlu untuk memiliki lag time secepat mungkin. Lag time adalah waktu yang dibutuhkan untuk obat sistem floating ini untuk mengapung. Tetapi, pengapungannya harus lama.

Agar dapat mengapung, maka sediaan obat harus dapat mengembang. Cara pengembangannya secara umum ada dua yaitu dengan non effervescent system dan effervescent system. Dengan non effervescent system artinya pengembangan obat tidak menggunakan effervescent mix sama sekali, yang digunakan adalah matriks dengan bobot jenis lebih kecil dari air, contohnya Poliakrilat. Eksipien ini dapat menyebabkan obat mengapung, namun kelemahannya adalah dapat mengiritasi lambung. Jadi, eksipien ini ketika terkena cairan lambung akan segera mengembang lalu mengapung.

Sementara dengan menggunakan effervescent system, digunakan effervescent mix yang terdiri dari natrium bikarbonat, asam sitrat, dan asam tartrat. Kata dosen, berdasarkan penelitiannya, ternyata dengan adanya natrium bikarbonat saja sudah cukup menyebabkan obat dapat mengapung, tidak perlu ditambahkan asam sitrat dan asam tartart lagi, karena di dalam lambung sudah ada asam, maka pembentukkan karbon dioksida sudah dapat terjadi. Akibatnya lagi jika ditambah asam sitrat, pembentukkan karbon dioksida akan menyebabkan karbon dioksida terlepas sehingga hasil mekanismenya akan sama seperti tablet effervescent yang mana justru bukannya menyebabkan mengapung malah turun ke bawah seperti gambar di bawah ini.

sumber gambar: blog.thehealthcounter.com

Yang diperlukan dalam obat sistem floating ini adalah, karbon dioksida yang dibentuk, diperangkap oleh matriks agar tidak keluar, dengan demikian akan seperti ban yang terisi gas yang dapat mengapung di atas air, jika gasnya keluar, tentu ban tidak dapat mengapung melainkan tenggelam.

Berikut adalah contoh obat-obatan yang menggunakan sistem floating:
  1. Obat yang memiliki penyerapan sempit di saluran cerna seperti L-Dopa, dan Riboflavin.
  2. Obat yang tidak stabil dalam lingkungan usus, contohnya Metronidazol.
  3. Obat yang kelarutannya rendah pada pH tinggi, misalnya Diazepam/Klordiazepoksid (paling sering digunakan dalam penelitian).
Kemudian, mengenai obat dengan sistem mucoadhesive. Sistem ini menggunakan sistem bioadesif di mana terdapat 2 materil yang mana salah satu darinya berasal dari sistem biologis alami yang secara bersama-sama memperpanjang waktu huni obat melalui gaya antarmuka. Dengan demikian, salah satu fungsi dari mucoadhesive adalah untuk meningkatkan penyerapan obat dengan cara memperpanjang waktu huni obat. 

Bioadhesif ini bukan hanya untuk sistem gastroretentif saja, tetapi juga untuk membran lainnya, misalnya pada mata. Di dalam mata juga terdapat membran mukosa, sehingga obat dengan sistem mucoadhesive ini juga dapat bekerja dengan cara menempel. Sediaan lain juga ada yang vaginal, buccal, sublingual dan lainnya, yang penting terdapat membran mukosa. 

Obat dapat menempel, karena pada membran mukosa sebagai salah satu material yang berasal dari sistem biologis alami terdiri dari membran mukosa, mukus, dan musin. Membran mukosa terdiri dari lapisan jaringan penghubung (lamina propia) yang selalu basah sehingga dapat digunakan untuk obat ini menempel, jika kering maka tidak terjadi penempelan. Mukus adlaah lapisan gel yang menempel pada lapisan mukosa sehingga makin mudah ditempeli. Adanya inilah yang memberikan sifat adhesi. Komponen dari mukus antara lain glikoprotein, karbohidrat, lipid, garam inorganik, dan air. Sementara musin adalah sekret dari mukus yang mana merupakan rantai oligosakarida yang memiliki ujung asam sialat yang berperan sebagai polielektrolit anionik yang dapat menetralkan HCl dan menahan kerja pepsin sehingga dapat melindungi membran sel epitel.  Musin tergolong menjadi dua, yaitu memran-bound mucin yang terikat oleh sel epitel dan mucin sekretori yang bebas dan tidak terikat. 

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :D

Wednesday, September 17, 2014

Catatan Mikropartikel #2

Pada pertemuan kedua ini, dibahas kembali tentang karakteristik dari Liposom, terkait dengan materi tersebut, dapat dibuka kembali link ini. Mempelajari liposom, kita memahami bahwa liposom berbentuk vesikular. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam inovasi dari vesikular dalam sistem penghantaran obat, antara lain provescicle, transfersomes, dan ethosomes.

Provescicle ada banyak macamnya, antara lain:
  1. Proliposomes, terdapat dalam dapar salin. 
  2. Dry granules, dibuat dari liposom yang sudah jadi kemudian dilakukan freeze dry atau pengeringan beku. 
  3. Mixed miscellar, merupakan campuran liposom dengan surfaktan.
  4. Protransfersomes.
Untuk yang terbuat dari liposom yang sudah jadi kemudian dikeringkan, beberapa karakteristik asli dapat mengalami perubahan. Akibat pengeringan beku beberapa karakteristik ini dapat berubah:
  1. Morfologi
  2. Sudut reposa
  3. Ukuran dan distribusi ukuran
  4. Laju hidrasi
  5. Entrapment efficient
  6. Deformability, merupakan kemampuan untuk merubah bentuk. Misalnya ditambah surfaktan supaya lebih fleksibel. Cara mengujinya adalah dengan menghitung jumlah liposom yang dapat melalui membran tertentu yang mana membran yang dibuat memiliki ukuran lebih kecil dari liposom yang diuji.
  7. In vitro release rate, misalnya dengan pengaruh asam atau basa. 
  8. Farmakokinetika
Transfersome merupakan modifikasi dari liposom yang digunakan untuk transdermal (dapat memberikan aktivitas sistemik atau lokal). Pada sediaan kosmetik secara umum, transdermal ditujukan untuk memberikan efek lokal. Misalnya memasukkan kolagen ke dalam kulit wajah menggunakan transfersome.

Ethosomes adalah modifikasi dari liposom juga hanya saja khusus untuk yang dapat larut dalam etanol. Jadi, cara pembuatannya adlaah dengan mengeringkan sampai jadi film, lalu dihidrasi dengan air dan etanol.

Selanjutnya, materi yang dibahas adalah "nanopartikel". Suatu istilah yang sering didengar karena sering disebut dalam suatu iklan di televisi. Akibat claim iklan tersebut yang mengatakan bahwa menggunakan teknologi nanopartikel yang lebih kecil dari molekul, dosen kami bertanya, "Lebih kecil mana? nanopartikel atau molekul". Secara spontan kami menjawab nanopartikel.

Jawaban yang benar adalah molekul. Berikut adalah skema yang menunjukkan hubungan nanopartikel dengan jenis ukuran yang lainnya:


Dari skema di atas, dijelaskan bahwa partikel lebih besar dari nanopartikel, lalu nanopartikel lebih besar dari molekul, molekul lebih besar dari unsur atau atom. Jadi jelas, bahwa yang lebih kecil adalah molekul, karena juga nanopartikel merupakan kumpulan dari molekul-molekul. 

Berdasarkan skema di atas juga dijelaskan bahwa cara pembuatan nanopartikel ada 2 cara, yaitu dengan top-down atau bottom-up. Top-down artinya dibuat dari partikel menjadi nanopartikel dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan cara grinding. Sementara bottom-up, artinya nanopartikel mulai dibuat dari unsur/atom atau dari molekul. 

Saat ini, banyak dibahas bahwa nanopartikel dapat digunakan dalam terapi pengobatan kanker. Kira-kira apa alasannya?

Di sisi lain, kita mengetahui bahwa obat kanker harus dapat masuk ke dalam sel agar dapat memberikan efek terapinya. Sementara, telah di ketahui bahwa nanopartikel memiliki ukuran yang lebih besar dari molekul. Senyawa-senyawa berukuran besar tidak dapat masuk ke dalam sel. Lalu dengan cara apa nanopartikel dapat masuk?

Berdasarkan sifat dari sel kanker itu sendiri, akibat adanya perubahan fisiologi, maka terdapat kebocoran dalam sel kanker. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 


Adanya bagian yang bocor menyebabkan nanopartikel akhirnya dapat masuk dan memberikan efek terapinya. 

Nanopartikel memiliki ukuran 200 nm sampai 1000 nm. Di atas 1000 nm sudah termasuk ke dalam mikropartikel. 

Lebih jauh lagi, nanopartikel telah digunakan diberbagai bidang, khususnya dalam bidang kefarmasian, antara lain:
  1. Nanopartikel dijadikan sebagai alat penghantar obat untuk tujuan pulmonary delivery (3 mikrometer), nasal delivery (5-20 mikrometer), embolism (10-20 mikrometer), dan target "leaky" and vessel (<250 li="" nanometer="">
  2. Dalam farmasetika, nanopartikel digunakan untuk meningkatkan disolusi dan kecepatan disolusi. Dalam hal ini disolusi dan kelarutan tidak sama. Kelarutan tidak pernah mengalami perubahan, tetapi kecepatan kelarutannya dapat diubah. Dengan meningkatkan kecepatan disolusi maka bioavailabilitas obat mengalami peningkatan karena dapat mempercepat ketersediaan molekuler. 
Contoh poin nomor dua adalah sediaan farmasi berupa suspensi. Suspensi terdiri dari komponen cair dan padatan. Bagian yang padat memiliki kecenderungan untuk mengalami pengendapan.  Dengan memperkecil ukurannya menjadi ukuran nano, maka bioavailabilitas obat dapat mengalami peningkatan. Berdasarkan suatu penelitian, dapat dilihat perbedaannya melalui grafik di bawah ini.


Cara membuat nanosuspensi adalah dengan cara memcampurkan zat padat dengan pelarutnya yang cocok, lalu ditambah denagn polimer. Sebelum ditambah polimer, akan terjadi proses pengendapan. Ketika ditambah polimer dan dilakukan pengadukan, maka molekul-molekul yang tidak terlarut akan terperangkap ke dalam polimer tersebut membentuk suatu nanosuspensi dengan ukuran partikel yang lebih halus dibandingkan dengan suspensi biasa. Metode ini merupakan salah satu cara yang termasuk ke dalam bottom-up. Selain itu, dengan cara kristalisasi (bottom-up), nanopartikel juga dapat dibuat. Dalam hal ini, pengecilan ukuran hingga didapatkan ukuran nanopartikel yang sesuai tetap diperlukan, karna bisa jadi, yang dibentuk akan terlalu besar sehingga melampaui yang diinginkan atau menyebabkan distribusi ukurannya menjadi tidak sama.

Tidak berbeda dengan nanosuspensi, nanoemulsi juga dibuat untuk meningkatkan kelarutan dari emulsi biasa. Cara pembuatannya adalah dengan cara penambahan co-surfaktan. Sebelumnya, melakukan pembuatan emulsi seperti biasa, mulai dari memilih surfaktan yang cocok, apabila sudah sesui maka ditambah dengan co-surfaktan dan digunakan homogenizer, nantinya akan dapat berubah ukurannya menjadi lebih kecil sehingga membentuk nanoemulsi. Jadi, misalnya sistem emulsinya adalah minyak dalam air, maka co-surfaktan yang dipilih haruslah yang dapat melarutkan zat terdispersinya, yang dalam hal ini minyak, sehingga dengan demikian ukuran globul-globul menjadi lebih kecil akibat adanya co-surfaktan.

Cara pembuatan lainnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:


Jadi, larutan zat aktif molekulernya, dimasukkan ke dalam larutan polimer yang dapat membentuk nanopartikel. 

Cara pembuatan nanopartikel dengan cara top-down selain grinding,bisa juga dengan cara pengecilan ukuran melalui homogenasi dan sonikasi. Jadi, pilihan untuk mengecilkan ukuran ada banyak, tergantung dari bahan yang digunakan. Cara lain adalah dengan menggunakan ultrasound. Jadi, adanya getaran tersebut dapat menyebabkan ukuran dari partikel perlahan-lahan akan mengalami pemisahan menjadi lebih kecil. Lihat gambar di bawah ini:


Nanopartikel diaplikasikan di berbagai rute pemberian obat seperti oral, inhalasi, transdermal, implantasi, dan injeksi. 

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :D

Tuesday, September 16, 2014

Catatan Farmakokimia #3

Hari ini adalah pertemuan ketiga kelas Farmakokimia. Materi yang dibahas adalah "Modifikasi Molekul".

Dasar pemikiran adanya modifikasi molekul adalah adanya bagian struktur molekul suatu senyawa dengan aktivitas tertentu ditemukan juga aktivitasnya pada senyawa lain sehingga memiliki suatu aktivitas yang mirip. Jadi, struktur molekul dari lead compound dapat dimodifikasi menjadi senyawa dengan aktivitas yang mirip. Asalkan farmakopor dipertahankan.

Adanya variasi struktur akan dapat mengakibatkan perubahan pada:
  1. Sifat fisika kimia, misalnya suatu senyawa dengan gugus karboksilat, kemudian diubah menjadi gugus ester, pastinya terkait sifat fisika kimia misalnya kelarutan pasti berubah.
  2. Reaktivitas kimia, yang termasuk ke dalam hal ini yang mengalami perubahan antara lain distribusi dalam sel jaringan, perjalanan sampai ke lokasi aksi, laju reaksi dengan loka aksi (interaksi obat-reseptor), pola metabolisme, dan sekresi.
Modifikasi struktur menyebabkan kemungkinan munculnya efek samping yang semula tidak terduga. Akibatnya bisa dijadikan senyawa penuntun dalam perancangan obat. Dengan demikian aktivitas biologisnya menjadi lebih nyata. 

Tujuan utama modifikasi struktur antara lain:
  1. Mengembangkan senyawa pengganti yang telah ada dengan potensi keamanan dan kespesifikan lebih besar dan efek samping yang lebih rendah. 
  2. Mengubah spektrum senyawa penuntun.
  3. Mengatur farmakokinetika senyawa.
  4. Menemukan gugus farmakoforin/terapogenik.
Ada beberapa hal yang termasuk ke dalam mengubah spektrum senyawa penuntun, misalnya:
  1. Agonis menjadi antagonis (misalnya awalnya merupakan stimulan setelah dimodifikasi menjadi inhibitor).
  2. Efek samping menjadi efek terapi (awalnya menimbulkan efek samping, setelah dimodifikasi justru dijadikan sebagai efek terapi).
  3. Peningkatan spektrum aktivitas (misalnya awalnya memiliki spektrum sempit, setelah dimodifikasi menjadi memiliki spektrum luas).
  4. Penggabungan aksi obat yang berbeda (secara kimia digabungkan, jadi misalnya dapat memiliki aktivitas baik antihistamin maupun vasodilator, yang sebelum dimodifikasi atau sebelum digabungkan memiliki efek masing-masing.
  5. Peningkatan selektivitas pada jenis/organ organisme.
Dalam tujuannya yang untuk mengatur farmakokinetika senyawa, hal ini dilakukan untuk memperbaiki:
  1. Ketersediaan biologis (misalnya dengan ditingkatkan lipofilisitasnya).
  2. Hubungan dosis-efek.
  3. Hubungan dosis-waktu.
  4. Distribusi pada pelbagai kompartemen, termasuk menghindari kompartemen tertentu (misalnya untuk menghindari efeknya pada sistem saraf pusat (SSP) agar tidak memunculkan rasa mual dan pusing tersebut, contohnya propantelin, merupakan lead compound atropin yang mana merupakan antikolinergik alami yang dapat mempengaruhi SSP. Selain itu contohnya senyawa yang mengandung gugus amin tersier, untuk menghindari SSP, dimodifikasi menjadi amin kuartener sehingga lebih polar dan efek SSP-nya lebih rendah).
Proses modifikasi molekul ada 2, yaitu modifikasi 1 dan 2. Berikut adalah proses modifikasi molekul 1 yang mana berusaha untuk melakukan optimasi interaksi farmakodinamik. Proses ini dibagi menjadi dua yaitu proses umum dan proses khusus. Proses umum terdiri dari:

A. Penyederhanaan molekul.
Misalnya untuk senyawa-senyawa dari alam yang kompleks, disederhanakan strukturnya agar mudah disintesis.


Gambar di atas adalah contohnya, Fisostigmin yang ada secara alami, dimodifikasi menjadi Neostigmin. Neostigmin seperti yang ditunjukkan pada lingkaran merah memiliki gugus amin kuartener yang mana lebih polar sehingga efek pada SSP-nya lebih rendah. Untuk informasi saja, keduanya memiliki aktivitas antikolinergik. 

B. Pembentukkan senyawa gabungan.
Gabungannya dapat berupa dua molekul yang identik atau bisa juga dua molekul yang tidak identik. 


Gambar di atas adalah contoh modifikasi dari gabungan antara dua molekul yang saling identik dan dua molekul yang saling tidak identik. Jika senyawa sebelah kiri gabungan dari dua molekul senyawa salisilat, sementara senyawa sebelah kanan adalah gabungan dari molekul asam salisilat dan parasetamol.

Berikut adalah proses khusus yang terdiri dari: 
  1. Modifikasi untuk meningkatkan atau menurunkan dimensi (besarnya) dan fleksibilitas molekul.
  2. Modifikasi untuk merubah sifat fisikokimia melalui pemasukkan gugusan baru/penggantian bagian struktur tertentu dengan gugusan berbeda. 
Metode yang diterapkan pada modifikasi baik umum dan khusus yang disebutkan di atas antara lain:
  1. Homologasi dan percabangan rantai.
  2. Pemasukkan ikatan rangkap.
  3. Perubahan cincin menjadi rantai atau sebaliknya.
  4. Penghilangan atau penggantian gugus bulky.
  5. Pemasukkan pusat optis aktif dan pemisahan campuran isomer yang diperoleh. 
Berikut adalah penjelasannya:
Homologasi dan percabangan rantai.
Pengaruh dari perpanjangan rantai ada 3, antara lain:
  1. Menaikkan aktivitas paralel dengan kenaikkan lipofilisitasnya.
  2. Menaikkan aktivitas tetapi hubungannya parabolik dengan kenaikkan lipofilisitasnya.
  3. Merubah tipe/jenis aktivitas.


Gambar di atas adalah kurva parabola di mana bagian yang berwarna merah itulah yang dimaksud dengan paralel. Hubungannya dengan percabangan rantai secara paralel, artinya adalah banyaknya rantai yang ditambahkan akan berbanding rulus dengan aktivitasnya, sebagaimana pada gambar, grafiknya secara paralel meningkat ke atas. Contohnya adalah homologasi dari senyawa lidokain.


Berbeda dengan yang paralel, modifikasi dengan cara homologasi juga dapat menghasilkan peningkatan aktivitas, tetapi hubungannya parabolik. Jadi, pada penambahan rantai dengan jumlah tertentu tidak meneruskan untuk menaikkan aktivitasnya, melainkan mengalami penurunan. Contohnya adalah penambahan atom C pada senyawa fenol di bawah ini, keterangan lebih jelas digambarkan dalam bentuk diagram garis.


Kemudian mengubah tipe/jenis aktivitas. Misalnya sebelumnya merupakan senyawa yang hanya bekerja sebagai pengeblok ganglion, dengan adanya homologasi, menyebabkan perubahan tipe senyawa yang berbeda yaitu menjadi pengeblok neurotransmitter dengan aksi ganglionik yang lemah. Contoh senyawanya adalah Hexametonium (pengemblok ganglionik) dihomologasi (mendapatkan tambahan 4 atom C, ditunjukkan pada lingkaran merah) menjadi Dekametonium. 


Contoh lainnya, sebelumnya menjadi efek samping, setelah dihomologasi menghasilkan efek terapetik. Yaitu Prometazin yang mana memiliki aktivitas utama atau efek terapetiknya adalah antihistamin, dengan efek sampingnya berupa antikolinergik dan antipsikotik. Berikutnya dimodifikasi dengan cara homologasi dengan ditambahkan 1 metil, jadi yang sebelumnya metil dihomologasi menjadi etil (seperti yang ditunjukkan pada lingkaran merah), senyawa hasil homologasi adalah Etopromazin, dengan efek terapetiknya adalah efek samping senyawa yang sebelumnya yaitu antikolinergik, dengan efek sampingnya adalah antihistamin dan antipsikotik. Ada lagi contoh lainnya, senyawa yang baru saja dihomologasi dihomologasi lagi dengan ditambahkan 1 metil sehingga bertambah jaraknya (seperti ditunjukkan pada lingkaran merah), senyawa hasilnya adalah Klorpromazin, dengan efek terapetik adalah antipsikotik, sementara efek sampingnya adalah antikolinergik dan antihistamin. 


Pemasukkan ikatan rangkap.
Pemasukkan ikatan ranggap dua atau tiga akan menambah kekakuan atau mengurangi kelenturan rantai C. Bisa juga akan membentuk isomerisme Cis-trans. Kita juga mengetahui bahwa ikatan C rangkap tiga lebih pendek dari yang rangkap 2 dan ikatan tunggal sehingga perubahan ini juga dapat merubah aktivitasnya. Contohnya saja efek hipotensif yang dihasilkan dari heksametonium dengan adanya perubahan jenis ikatan. 

Perubahan cincin menjadi rantai, atau sebaliknya.
Adanya perubahan ini juga dapat merubah aktivitasnya. Contohnya saja gugus dimetilamino pada senyawa Klorpromazin yang diganti dengan gugus piperazin sebagai senyawa siklik atau  cincin akan merubah efeknya yaitu efek antiemetik dan tranqulizer menjadi lebih baik. 


Pemasukkan, penghilangan, atau penggantian gugus bulky
Metode ini khususnya digunakan untuk merubah agonis menjadi antagonis atau sebaliknya. Contohnya adalah senyawa kolinergik yaitu Asetilkolin, dimodifikasi dengan ditambah gugus bulky sehingga memberikan aktivitas antagonis yaitu antikolinergik, senyawa hasil modifikasinya adalah Propantelin. Perlu diperhatikan terkait dengan senyawa yang dimodifikasi menjadi antagonis, apabila tujuannya adalah untuk membalikkan aktivitas, jangan sampai mengganggu interaksi obat itu (yang bersifat antagonis) dengan reseptor. Intinya, meskipun bersifat antagonis, senyawa harus tetap mampu berinteraksi, karena dengan adanya interaksi tersebutlah dapat dihasilkan aktivitas yang berlawanan. Meskipun ditambah gugus bulky, sudah diperkirakan masih ada ruang untuk tetap dapat berinteraksi. Bedanya dengan agonis, antagonis memiliki ikatan yang lebih kuat sehingga tidak akan terdisosiasi dan menghasilkan efek agonis, jadi konformasinya sesungguhnya tidak berubah, tetapi hanya interaksinya saja yang lebih kuat. 


Pemasukkan pusat optis aktif, sehingga diperoleh senyawa isomer optik, dan memisahkan campuran isomer.
Adanya penambahan atom asimetrik pada bagian esensial interaksi obat-reseptor maka dapat menghasilkan aktivitas yang berbeda. Sementara jika penambahannya bukan pada bagian yang esensial maka aktivitasnya akan tetap sama. Senyawa isomer yang dihasilkan, jika dicampurkan, maka akan memberikan aksi yang berbeda, berikut adalah macam-macam aksi yang mungkin:
  1. Aktif dan tidak aktif
  2. Aktif dan aktif beda potensial, contohnya L-epinefrin dan D-epinefrin, memiliki keaktifan yang sama tetapi potensi aktivitasnya berbeda.
  3. Agonis dan antagonis kompetitif
  4. Agonis dan agonis parsial
Nomor 1 dan 2 adalah aksi yang paling umum.

Berikut adalah upaya modifikasi 2:
  1. Substitusi isosterik, topologi struktur tetap.
  2. Perubahan posisi/orientasi gugus tertentu.
  3. Pemasukan alkylating agent/molekul lain.
  4. Modifikasi untuk penghambatan/peningkatan berbagai keadaan elektronik/molekul.
Substitusi isosterik.
Ini merupakan jenis modifikasi yang mempertahankan topologi struktur. Contohnya adalah struktur obat penenang trisiklik yang dimodifikasi tetap trisiklik (yaitu antidepresan trisiklik), dimodifikasi dengan mengganti atom S dengan atom C rangkap 2. Dengan demikian, modifikasi strukturnya dapat tetap mempertahankan topologi strukturnya. 


Substitusi isosterik, artinya terjadi penggantian gugus senyawa awal dengan gugus yang isoster dengannya. Istilah isosterisme ini didefinisikan oleh Langmuir dan Grimm. Menurut Langmuir (1919), isosterisme adalah kemiripan sifat fisika-kimia atom, gugus, radikal, dan molekul yang berstruktur elektronik serpua. Misalnya atom segolongan pada sistem periodik berkala yang tidak jauh terpisah (jumlah dan susunan elektron terluar sama). Contohnya Cl dengan F, Cl dengan Br, Cl dengan I, dan seterusnya.

Menurut Grimm, issoter adalah atom dan hidridanya yang segaris vertikal pada tabel kaidah pergeseran hidrida. Dengan demikian, gugusan isoster ini bisa saling menggantikan. 


Erlenmeyer memperluas konsep keisosteran dan menambah pembatasan yang mana atom, molekul, atau gugusan dikatakan isoster jika:
  1. lapisan elektron terluar harus sama dalam bentuk, ukuran, dan kepolaran.
  2. senyawa-senyawa harus isomorf.
  3. molekul 2 pasangan isoster harus sesuai dengan kisi kristal yang sama.
Sementara Hinsberg menunjukkan hal lain bahwa CH=CH isoster dengan S, dan juga senyawa lain seperti Tiofen, Benzen, Piridin, Pirol, dan Fural saling isoster. 

Terdapat istilah lain yaitu "bioisosterisme". Bioisosterisme tidak hanya melihat kemiripan dari aspek kimianya saja tetapi juga dilihat dari aspek biologis terkait dengan aktivitas biologisnya. Untuk dapat menimbulkan aktivitas biologis yang diinginkan, obat yang molekulnya dimodifikasi harus tetap berinteraksi dengan reseptor sebagaimana obat aslinya. Modifikasi molekul itu tidak boleh terlalu drastis. Isosterisme dijadikan sebgai salah satu dasar rancangan modifikasi struktur obat, yang dalam hal ini Friedman, 1951,-lah yang menciptakan istilah bioisosterisme. 

Terkait bioisosterisme, bioisosterisme dibagi menjadi 2 golongan, yaitu bioisosterisme klasik dan non klasik. 

Bioisosterisme klasik. Di bawah ini terdapat tabel yang menunjukkan bahwa unsur yang terletak secara vertikel merupakan bioisosterisme, misalnya gugus -CH=CH- dengan -S-, -O-, dan seterusnya. 


Bioisosterisme non klasik, tidak memenuhi secara ketat kaidah sterik dan elektronik seperti bioisoster klasik. Berikut adalah contohnya:



Pada tabel, kalau tidak salah, yang segaris vertikal merupakan gugusan yang saling bioisoster secara non klasik. Sementara gambar di bawahnya adalah contoh senyawa yang saling bioisoster non klasik, di mana tidak memenuhi secara ketat kaidah sterik dan elektronik.

Pemasukkan gugus alkylating agent.
Alkylating agent merupakan senyawa yang sangat reaktif, kalau tidak ada senyawa pengarah maka alkylating agent ini dapat berinteraksi dengan sel manapun. Berikut adalah contoh senyawa yang dimasukkan gugus alkylating agent sehingga distribusi senyawanya menjadi lebih terarah.


Perubahan posisi atau orientasi gugus fungsi.
Posisi gugus tertentu terkadang penting untuk aktivitas. Berikut merupakan contoh adanya modifikasi pada posisi dapat mempengaruhi besar aktivitasnya. 


Modifikasi untuk inhibisi atau promosi berbagai keadaan elektronik molekul.
Gugus kimia tertentu dapat menghasilkan efek elektronik yang penting, yaitu induktif dan resonansi (konjugatif). Efek ini dapat merubah sifat-sfiat fisika kimia, sehingga pada akhirnya dapat merubah efek biologi. 

Efek induktif atau disebut juga elektrostatik ada dua macam, yaitu efek induktif negatif (-I) dan positif (+I). Efek induktif negatif adalah yang mampu menarik elektron lebih besar dari H, elektronegatifnya besar, dan merupakan akseptor elektron. Contohnya -NH3+, -NO2, -CN, -COOH, -COOR, -F, -Br. Sementara efek induktif positif adalah yang kemampuan menarik elektronnya lebih kecil dari H dan merupakan donor elektron. Contohnya adalah -CH3, -CH2R,dst. 

Resonansi adalah gugusan yang dapat meningkatkan densitas elektron pada sistem konjugasi ikatan rangkap.

Sampai di sini, dikenal suatu istilah yang disebut molecular docking yang mana merupakan salah satu alternatif dalam melakukan modifikasi struktur. Metode ini digunakan untuk obat yang sudah diketahui reseptornya dan tersedia model reseptornya. Struktur yang dirancang nantinya akan ditambatkan pada reseptor yang dipilih. Kemudian dibandingkan kesesuaian interaksi struktur senyawa yang dirancang dengan interaksi senyawa acuan. Selanjutnya sejumlah analog senyawa yang menunjukkan interasi yang baik disintesis. 

Sampai di sini juga yang bisa disampaikan, materi berikutnya akan dilanjutkan pada pertemuan minggu depan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung :D