Monday, September 30, 2019

Kesendirian: Sebuah Awal dan Akhir Perjalanan

[Sumber Gambar: Medical Express]


Seketika aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun ketika orang-orang di sekeliling terus menyebut namaku. Aku menjawab setiap pertanyaan mereka dengan gugup. Sungguh, ini merupakan pertama kalinya aku menginjakkan tanah yang baru, suasana yang berbeda, jauh dari rumah. Aku baru mengetahui, sesulit itu ternyata keluar dari zona nyamanku. 

Kupikir aku sudah cukup berani berbicara di depan, setelah sudah berapa kali berbicara di depan publik. Ternyata, lingkungan yang baru ini mampu membungkam suaraku. Benar-benar tidak nyaman. Orang-orang baru, kurindu rumah...

Seminggu kulewati dengan air mata. Di bawah selimut kuteringat wajah ibu bapakku, kumimpikan suasana rumah. Rasanya aku ingin pulang.

Seperti ini ternyata, kurasa kodrat anak bungsu yang melekat pada diriku tidak mudah dihilangkan. Kupikir, aku sudah bisa mandiri, kupikir aku sudah bisa kuat sendiri. Ternyata, lemah sekali diriku. Di saat itu, aku merasakan titik terlemah yang ada di dalam diriku. 

Segugup itu kah? Mampu kah? Kuat kah? Kucoba menguatkan diri, tapi terus kalah dengan air mata yang terus mendorong keluar, tak tertahankan.

Kujalani minggu-minggu pertama, kusapa dengan pelan guruku. Namun, aku tak mampu merasakan kehangatan. Kenapa, di dalam juga dingin, kupikir hanya di luar hawa dingin itu. Rasanya kutak ingin melepas jaket tebalku, tapi beliau berkata, "tidak mau melepas jaket kah?". Aku yang sedari tadi dihinggapi dengan kecemasan, menanggapi muram, menganggap bahwa perkataan itu seperti hentakan. 

Segera kulepas dan kugantungkan ke kursi. Dengan gaya yang masih awkward dan sedikit celingak celinguk, kuperhatikan sekeliling. Kuberharap untuk menemui keramahan. 

Minggu-minggu kulewati dengan observasi yang makin membuat jiwaku tergoncang. Perkataan-perkataan kasar yang dilontarkan ke setiap orang-orang baru yang kukenal, membuatku berpikir, akankah aku menerima perlakukan yang sama. 

Sungguh, jiwa lemahku meronta. Tak sanggup jika aku berada di posisinya. Bergetar sudah. Momen-momen itu terulang kembali tiap minggu. Aku merasa sedih tambah kasihan. Tidak seharusnya diperlakukan begini, ada caranya untuk evaluasi. Seperti ini kah mereka?

Tiba saatnya aku mendapat kesempatan bertanya. Bukannya mendapat apresiasi melontarkan pertanyaan, malah kudapat cacian. Saat itu, tubuhku berusaha menerima, aku terdiam, tanpa berontak. Aku tau, aku lemah, tapi di saat itu, aku berusaha menunjukkan bahwa aku tegar. Bahwa aku baik-baik saja.

Minggu berganti minggu, dalam sebulan aku dihantui dengan kekhawatiran. Seperti ini kah? Aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Aku hanya ingin kenyamanan, aku hanya ingin pengertian. 

Kuisi kuesioner, dari satu sampai lima, kupilih 2 untuk sebuah soal yang meminta gambaran kesehatan jiwa. Aku jujur, aku tak ada pilihan. 

Kudapati kesempatan bercerita, dengan seseorang yang mengenal mereka. Katanya, seharusnya mereka tidak seperti yang aku khawatirkan. Sehingga berkali-kali aku diminta untuk tidak perlu khawatir. Melainkan, harusnya aku bersyukur.

Kucoba untuk memahami, kucoba untuk mengerti, kemudian kucoba untuk mengikuti. Semua instruksi aku lakukan, bahkan aku lakukan lebih dari yang diminta hanya demi agar jiwa ini tak lagi diguncangkan. Aku hanya butuh kenyamanan tempat belajar. 

Singkat cerita kini, apa yang aku lakukan, apa yang aku perbuat lebih dari yang diminta telah menyentuh hatinya. Kini mereka berbalik memberi kasih sayang. Bahkan besarnya lebih dari yang aku bayangkan. Lepas dari sebulan neraka, hari-hariku telah berbalik terisi kehangatan, sesuatu yang aku impikan sejak awal. Baru datang setelah sebulan. Meskipun telat, tapi tak mengapa, yang penting kini aku bisa merasakan kenyamanan. 

Hidupku di sini tidak hanya soal belajar, tetapi juga pertemanan. Suatu hal yang aku gugup akan halnya. Seorang diri di lingkungan yang baru. Perlukah aku mencari teman? Ah sudahlah, aku sudah cukup dengan empat teman kesayanganku yang jauh di sana. Meskipun hanya terhubung whatsapp dan google drive, kupikir, cukup sudah.

Bagaimana kabar kalian? Kurindu kebersamaan dan berbincang-bincang lama sampai pagi. Nyatanya, long distance friendship tidak bisa bekerja untukku. Ternyata sulit untuk memperoleh kabar dari mereka atau sekedar mendengarkan cerita aku di sini dengan adanya kesibukan mereka juga masing-masing. Tentu, masih didengarkan, tapi memang, adanya jarak, rasanya jadi berbeda. Aku tidak bisa merasakan kehadiran mereka di sini. Sehingga terus, aku merasakan kesepian.

Asrama jauh di selatan, yang dengan lelet aku berjalan kaki hingga 1 jam untuk sampai ke lab, membuat aku makin terasingkan. Belanja, masak, makan, tidur. Beberapa kali kuajak teman Indiaku yang seasrama joging malam. Menyusuri indahnya kota dalam lukisan hitam malam. Betul, indah hingga kutak ingin memejamkan mata. 

Bukan lagi soal kesepian, kondisi kesehatanku kian memburuk di suatu minggu. Berhari-hari kucoba bertahan, namun tak juga kunjung membaik. Hujan yang terus mengguyur perjalananku rupanya kurang bisa bersahabat. Kuputuskan untuk pindah dari asrama. 

Aku sangat menyukai apartemen baruku. Cukup untuk menghidupkan kembali suasana rumah yang aku rindukan. Di ruangan yang bersofa, selalu kuimajinasikan kehadiran teman-temanku. Tempat di mana aku merasa nyaman. Ternyata, kesendirian dan kesepianku membuat aku larut dalam kesedihan. Menyadari bahwa adanya kebutuhan untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan saling mengasihi. 

Padahal, sudah kucoba untuk kuat sendiri, sudah kucoba untuk mandiri. Namun, ketidakmampuanku mengatasi masalah mesin cuci, mengingatkanku pada bapakku. Kumenyadari betapa lemah diriku. Kumerindukan sosoknya, yang selalu ada di setiap aku ada masalah. Ternyata, terdapat hal-hal yang tidak bisa aku lakukan sendiri. Ingin ku meminta bantuan, tapi apa daya, aku belum benar-benar mengenal orang sekitar. 

Aku menyerah, aku katakan pada sahabatku bahwa aku membutuhkan teman di sini yang setidaknya dapat membantuku ketika ku dalam kesusahan dan yang selalu mengingatku di berbagai situasi. Aku berjuang untuk mendapatkannya. Aku ikuti kegiatan mereka. Berharap, aku diterima. 

Saat itu, musim sedang cantik-cantiknya. Inginku menikmati keindahan itu bersama teman-teman. Kucek media, sakit kurasakan. Yang tadinya kuharap bisa menjadi teman, ternyata belum bisa menganggapku teman. Jadilah, kunikmati musim itu sendirian.

Kuceritakan pada sahabatku, bagaimana aku berusaha diterima, dan apa yang aku dapatkan. Dikatakan kepadaku untuk berhenti dan jangan lagi berharap. Sungguh mereka sangat sayang kepadaku, agar aku tidak lagi tersakiti.

Tapi, tak kudengar apa yang mereka katakan. Masih aku berusaha. Mengemis agar diingat. Lagi, sakit yang aku dapatkan. Tak henti-hentinya, kumerajuk kepada sahabatku, betapa gagalnya aku mencari teman. Lagi, mereka nasihatkan untuk berhenti dan meyakinkanku bahwa memang tidak semudah itu mendapatkan teman. Mengingatkanku kembali bagaimana persahabatan lebih dari 7 tahun ini dibangun. Kali ini, kudengarkan, kuhentikan langkahku. Aku katakan kepada-Nya bahwa aku menerima kesepianku jika itu memang takdirku. 

Nyatanya, Dia-lah yang menggerakkan seseorang datang kepadaku. Seseorang yang awalnya tak pernah kutoleh sedikit pun yang malah kunilai tidak baik di depan. Ya, akulah si ISTJ yang hanya menilai dari cover-nya. 

Ada alasan kenapa kucap dia demikian. Kaitannya dengan masa laluku bertemu dengan orang yang salah. Sedikit bercerita, dia adalah sesosok agamis yang perkataannya selalu kudengar. Yang perilakunya dapat meluluhkan kerasnya bapakku. Yang ternyata, di akhir malah menyakitiku, mempermainkanku. Sejak saat itu, aku hindari pribadi-pribadi yang mirip dengannya. Tak mau lagi aku tertipu.

Sosok yang datang kepadaku itu, kukira sama dengan masa laluku. Kukatakan kepadanya bahwa aku tidak mudah percaya dengan orang baru. Kukatakan padanya bahwa aku tidak mudah menganggap seseorang menjadi temanku. Dengan yakin dia katakan bahwa aku bisa percaya dengannya. Kukatakan kepadanya bahwa aku akan mencobanya. 

Suatu hari aku memperoleh kemalangan yang menyebabkan aku harus pergi mengembalikan barang yang rusak. Namun, ketidakpercayaanku terkait bahasa mencoba mengajaknya pergi menemaniku. Aku lontarkan keinginanku padanya yang pada saat itu ada orang lain di sekitar. "Tidak", jawabnya. Rasanya, air mata yang mendesak keluar saat itu sudah cukup menggambarkan kekecewaanku. Kupikir dia adalah jawaban dari kesepianku. Nyatanya memang benar kutak bisa mudah memberikan kepercayaanku.

Aku berlanjut pergi sambil menyeka air mata. Kuyakinkan diriku bahwa aku sendiri pun mampu mengatasinya. Dengan langkah gugup, kusampaikan keinginanku dengan terbata-bata yang untungnya mereka memahami kondisiku dan aku bisa pulang dengan lega. 

Penolakan yang lagi-lagi menambah luka, tidak mudah aku lupakan. Kemudian di saat aku belum melupakannya, sosok itu datang kembali. Kukatakan padanya bahwa aku kehilangan kepercayaanku padanya. Dia tidak mundur, malah menjanjikan untuk tidak lagi mengulanginya yang kemudian aku terbujuk untuk menyetujuinya. Kembali, aku katakan padanya bahwa aku akan "mencoba" mempercayainya. Yang hingga entah kapan aku baru bisa benar-benar menganggapnya temanku. 

Bagiku, aku lebih mementingkan temanku mau apa dan bagaimana, dan aku tidak pernah memikirkan orang lain melihat aku dengan temanku seperti apa. Penolakannya terhadap ajakanku, katanya karena dia takut orang lain melihat bagaimana, di situlah alasan aku kesulitan mempercayainya sebagai seseorang yang bisa aku anggap teman, karena temanku seharusnya tidak perlu mendengar apa yang orang lain katakan, tetapi haruslah mengenai aku maunya bagaimana. Seperti dia itu sebenarnya teman mereka, atau teman aku. Jika teman aku, maka aku lah yang harusnya dipedulikan, bukan mereka. 

Setiap kali aku mengungkitnya, dia selalu memintaku untuk menghentikannya. Berkali-kali dia menyesal dan tidak akan melakukannya lagi. Satu per satu, kulihat dia patuh pada janjinya yang membuat aku mulai mempercayainya. 

Kabar baik ini tentu tidak aku lewatkan kepada empat orang sahabatku. Mereka turut berbahagia dengan adanya kehadiran teman baruku dan berharap aku tidak lagi bersedih dalam kesepian. 

Mulai saat itu, duniaku hanya tentang kewajiban, aku, dan dia. Hanya dengan bersamanya aku sudah merasa tenteram. Ketika aku butuh bercerita, kupanggil dirinya dan dengan sigap dia datang dengan senyuman disertai vitamin C dan makanan ringan kesukaanku. Ketika dia bersedih, ku segera datang menjenguknya dan menghiburnya. Kujanjikan untuk selalu ada untuknya. 

Sungguh, aku menikmati pertemanan ini. Tidak ada masa paling indah di sini selain masa-masa yang kuhabiskan bersamanya. 

Sayangnya, kebahagiaan ini hanya berlangsung enam bulan. Ada masanya, dia harus berpindah sehingga tidak bisa lagi menemani kesepianku. Murung aku dibuatnya. Jiwa kebungsuanku tak bisa dibendung. Iya, aku cengeng. Hari demi hari mendekati perpindahannya, banjir air mata tak bisa ditahankan. Betapa tidak, bayang-bayang kesepian mencekam, imajinasi ketakutanku akan ingatan masa-masa sulitku, rasanya tak mampu aku hadapi sendiri. Kehadirannya adalah anugerah yang tak terkira bagiku sehingga seluruh ketakutan dan kekhawatiran tidak pernah aku pedulikan. Namun, tanpanya, hampa yang aku rasakan.

Menjerit aku sedalam-dalamnya. Sesedih itu aku ditinggalnya. Akankah kita akan bertemu kembali? Bayang-bayang pertemuan terakhir selama-lamanya selalu menghantui. Jujur, dia adalah satu-satunya yang kukatakan kepada diriku bahwa sepertinya dia adalah jawaban kesunyianku. Di saat aku menemukannya, aku harus merelakan jalan hidupnya.

Kita berbeda, dia memilih jalan yang berbeda. Sebagai temannya, aku yakin dia akan sukses di jalan yang dia pilih itu. Aku pun memiliki jalanku sendiri, yang aku yakin bahwa inilah jalan yang terbaik untukku. 

Lalu apa yang aku harus lakukan? Rasanya tidak baik larut dalam kesedihan perpisahan. Tuhan yang menghendaki pertemuan, Tuhan jugalah yang menghendaki perpisahan. Sebagaimana aku percaya bahwa ada selalu hikmah di baliknya. Aku percaya, Tuhan telah menyiapkan cerita yang baru untukku dan untuknya. Jadi, yang harus aku lakukan saat ini adalah merelakannya di jalannya dan mengikhlaskan perpisahan ini. Persahabatan tidak harus selalu ada di sisi, dia harus tau bahwa di mana pun aku berada, aku akan selalu mengingatnya dan selalu mendukung yang terbaik untuknya.

Aku berterima kasih kepada Tuhan, telah mempertemukan aku dengannya. Sungguh aku memuji-Nya, sebagaimana aku menyaksikan sendiri bagaimana dia memiliki sosok pribadi yang tulus, penyabar, dan pengertian. Sosok yang sebaik-baiknya manusia. Sosok yang selama ini aku cari. Sungguh salah penilaianku di depan yang akhirnya kini aku belajar, untuk tidak lagi menilai seseorang begitu mudah di depan. Ya Tuhanku, dia adalah sosok yang tampan hatinya. Lindungilah ia selalu, berilah kebahagiaan yang melimpah, serta jauhkanlah dari kesedihan. 

Sesungguhnya, penilaian yang salah ini adalah yang kedua kalinya. Ingat dengan masa laluku? Dulu aku juga salah menilai. Yang kukira baik hatinya, ternyata malah "busuk" sejahat-jahatnya. Mungkin inilah jalan Tuhan untuk mengajarkan kepadaku untuk tidak lagi menilai seseorang dari depannya saja. 

Untuk sisa enam bulan ke depan. Kutau ini akan sulit, tetapi aku harus kuat dan percaya dengan diriku sendiri bahwa aku mampu melewatinya meskipun dalam kesendirian. Bersabarlah, sedikit lagi aku akan pulang.

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)