Monday, September 28, 2015

Catatan Registrasi #2

Sumber Gambar: detik.com

Registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar. Produk yang didaftarkan ke BPOM antara lain obat, obat tradisional, makanan, dan kosmetik. Untuk industri-industri obat tradisional, proses registrasinya tidak serumit registrasi obat, jadi jauh lebih mudah. IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) dan UMOT (Usaha Mikro Obat Tradisional) juga harus melakukan registrasi obat tradisionalnya. Sementara untuk registrasi alat kesehatan dan PKRT (Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga) registrasinya melalui departemen kesehatan, kini proses registrasi dapat dilakukan secara online melalui ini

Registrasi obat dibuat begitu rinci, karena mengikuti aturan dari ASEAN, agar kalau sudah teregistrasi di Indonesia, produk obat menjadi lebih mudah diregistrasi di ASEAN, hanya perlu diterjemahkan saja bahasanya. Begitu pula sebaliknya, untuk produk obat impor juga menjadi lebih mudah registrasinya di Indonesia, tinggal diterjemahkan saja dan ditambahkan bagian rangkuman, misalnya metode analisisnya menggunakan kolom apa, fase gerak apa, komposisi produk obatnya seperti apa, cara pembuatan untuk satu betsnya dan seterusnya. 

Tujuan dilakukannya registrasi adalah untuk melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi efikasi (khasiat), keamanan, mutu, dan manfaatnya. Di Indonesia, ada atau tidaknya komposisi bahan yang mengandung babi juga perlu diinformasikan berhubung Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Meskipun seluruh informasi terkait produk diinformasikan ke BPOM, BPOM akan menjaga rahasia, sehingga tidak perlu khawatir. Informasi produk ini harus diberikan secara benar, tidak boleh dikarang-karang atau dibuat-buat, jika ketahuan berbuat kecurangan, tentu akan menjadi urusan. 

Apabila registrasi produk obatnya ditolak, maka bisa dilakukan banding. Jadi, pendaftar harus benar-benar memastikan dokumen yang diberikan lengkap dan informasinya benar. Terkait dengan dokumen, diperlukan pula sertifikasi. Di lingkungan pabrik biasanya tidak ditanda-tangani dokumennya. Tetapi untuk keperluan registrasi, seharusnya dokumennya ditanda-tangani dan diberi stempel basah, sehingga ketika dalam proses registrasinya, tidak perlu mencari-cari lagi tanda tangan dan stempel basahnya. Karena memang, dokumen registrasi yang diperlukan itu adalah dokumen aslinya. 

Di industri, yang mengurus registrasi adalah RO (Registration Officer). Kesalahan yang sering dilakukan oleh pendaftar adalah biasanya pada saat melakukan registrasi ulang. Sebagaimana diketahui bahwa registrasi ulang itu dilakukan untuk produk yang memiliki izin edar yang telah habis masa berlakunya (5 tahun). Selama masa edarnya itu, biasanya ada perubahan-perubahan atau tambahan data. Terkadang RO tidak mengurus perubahan atau tambahan data ini yang mana seharusnya kalau ada perubahan data, data yang lama ditarik dan diganti dengan data yang baru. Akibatnya kalau tidak dilakukan, pada registrasi ulang akan kesulitan karena persyaratan dari registrasi ulang adalah dokumennya tidak mengalami perubahan terhadap dokumen yang diregistrasi sebelumnya. 

Industri farmasi akan sering sekali berurusan dengan registrasi. Contohnya adalah ketika suatu industri meregistrasikan obat baru yang dijual dengan harga 50 ribu, kemudian habis masa patennya, lalu bermunculan obat copy dengan harga jauh lebih murah misalnya 5 ribu, maka akibatnya industri tersebut tidak bisa membayar karyawan dan sejumlah persoalan lainnya sehingga pada akhirnya pabrik tersebut mengecil, berganti nama, berganti nama lagi, dan seterusnya. Sementara terkait dengan perubahan nama ini harus diregistrasi yang mana dalam hal ini, termasuk ke dalam kategori registrasi variasi minor yang memerlukan persetujuan (VaMi-B).

Terkait dengan penjelasan kategori registrasi variasi, telah dijelaskan pada post sebelumnya. Contoh lainnya adalah ketika suatu industri awalnya memiliki produk dengan kemasan yang besar, karena tidak laku dijual, maka ukuran kemasan dikecilkan, adanya perubahan ini harus diregistrasi dan registrasinya termasuk VaMi-B. Contoh lain, suatu industri memproduksi obat asetosal dengan klaim indikasi sebagai analgesik, tetapi kemudian industri menemukan bahwa asetosal tersebut juga dapat diindikasikan sebagai pengencer darah. Adanya klaim baru terkait dengan tambahan indikasi, harus diregistrasi, dengan kategori registrasi major (VaMa). 

Pada alur registrasi, perlu diperhatikan jangan sampai ada kesalahan, terutama terkait dengan dokumen hasil uji Bioekivalensi. Harus dilakukan pada laboratorium yang terakreditasi. Untuk mengetahui laboratorium mana saja yang sudah terakreditasi bisa bertanya ke BPOM, tanya mana saja laboratorium yang dapat mengerjakan uji dengan cepat dan yang murah (seandainya memang butuh cepat dan biaya murah). Selama proses registrasinya akan ada kesempatan melakukan konsultasi, nanti akan bertemu dengan satu orang. Apabila konsultan setuju dengan dokumen yang akan diregistrasi, jangan langsung begitu saja senang dahulu, karena meskipun konsultan setuju, belum tentu lolos ketika dokumen dimasukkan. 

Saat registrasi, ketika menyerahkan dokumen dan dinyatakan lengkap, maka akan diminta untuk menyetorkan sejumlah uang ke kas negara, nantinya ada lampiran bukti bayar yang harus dimasukkan kembali ke BPOM, setelahnya pendaftar akan diberi CD untuk diinstall di komputer. Lalu form elektronik akan diperiksa lengkap atau tidaknya. Jika lengkap, proses registrasi berlanjut ke proses evaluasi, yang melakukan evaluasi adalah Komite Nasional Penilai Obat Jadi (KOMNAS POJ).  Apabila disetujui oleh komite tersebut, maka akan keluar nomor registrasinya. Pada masa evaluasi obat ini, akan ada kesempatan "dengar pendapat" yaitu kesempatan pendaftar untuk membahas hasil evaluasi khasiat dan keamanan dengan KOMNAS POJ, berdasarkan permohonan tertulis. Apabila gagal dan memiliki kesempatan untuk lolos, maka bisa presentasi kembali. 

Beda macam registrasi, beda pula waktu evaluasi obatnya. Ada yang 40 HK (Hari Kerja), ada yang 100 HK, 150 HK, dan 300 HK yang paling lama. 40 HK adalahu untuk registrasi minor dan produk yang mau diekspor. 

Ketika sudah memperoleh nomor registrasi, pendaftar tetap memiliki kewajiban, yakni pendaftar wajib memproduksi atau mengimpor dan mengedarkan obat yang telah memiki izin edar selambat-lambatnya satu tahun setelah tanggal persetujuan dikeluarkan.  Jika selama 12 bulan berturut-turut tidak diproduksi atau diimpor, dan diedarkan maka izin industri farmasi pemilik izin edar dicabut.

Masih mengenai materi registrasi, dosen mengatakan bahwa ujiannya nanti hanya 50 menit, akan ada juga materi soal uji kimia bahan baku, sediaan, atau obat jadi, serta uji stabilitas. Apa saja yang ada di etiket dan brosur juga harus dipelajari. Apabila bahan bakunya antibiotik, maka perlu juga dipelajari uji potensi antibiotiknya, Misalnya uji potensi tetrasiklin. Metode yang dipilih metode lempeng (jangan yang tubidimetri), nomor ATCC dari bakteri harus tau. Pertama-tama cari dulu dosis tengah dan pelarutnya. Lalu kelipatan dosisnya, kemudian dibuat 5 dosis. Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan, mikrobanya jangan salah, lalu mikrobanya dimasukkan ke dalam tabung, dibuat miring, didiamkan 24 jam, dilihat pada suhu berapa, lalu dipanen, lalu digunakan NaCl 50 ml fisiologis,  setelah dapat mikrobanya, lalu diukur T25%, serapannya harus 0,062. Kalau tidak dapat segitu, kepekatannya diencerkan. Apabila tidak diencerkan, akan terlampau pekat, akibatnya ketika dipasang cakram, hambatannya jadi kecil. Begitu pula sebaliknya, jika terlampau kecil harus dipekatkan, karena apabila dipasang cakram, hambatannya akan kebesaran. Mengenai uji potensi antibiotik ini, saya tuliskan atas apa yang saya catat di buku, saya belum mengkonfirmasi lagi dengan penjelasan di buku, jadi mohon maaf apabila ada kesalahan. Untuk penjelasan lebih lengkapnya akan ditambahkan setelah saya mempelajari lebih lanjut. 

Selanjutnya dibahas mengenai sertifikat analisis. Pada sertifikat analisis bahan baku, pada parameter yang diperiksanya harus sesuai dengan monografi, bila memang tidak ada spesifikasi titik leburnya, ya tidak perlu dicantumkan, jangan dikarang-karang. Sementara bedanya pada sertifikat analisis sediaan jadi, pada bagian kanan atas ada keterangan komposisi per tabletnya, serta ada keterangan kadar dari tiap zat aktifnya. Apabila suatu sediaan jadi mengandung dua macam antibiotik, ada cara untuk memisahkannya sehingga mudah dalam menganalisisnya, antara lain:
  1. Dengan cara menambahkan pereaksi agar salah satu tidak aktif, misalnya salah satu senyawanya mengandung beta laktam, maka diberikan pereaksi beta laktamase. Jadi senyawa yang lainnya bisa ditetapkan kadarnya. 
  2. Dengan melakukan pemeriksaan atas dasar perbedaan pH dari media, misalnya ada 2 senyawa, senyawa asam dan senyawa basa. Pada cakram, dimasukkan antibiotiknya, antibiotik yang sesuai dengan kondisi media yang dapat diperiksa.
  3. Menggunakan metode ekstraksi, misalnya senyawa yang satu larut air, yang satunya tidak. Selain itu, sudah banyak antibiotik yang dianalisis dengan KCKT, tetapi menggunakan kolom yang spesifik yaitu kolom yang sudah viral, apakah hanya bisa untuk yang alfa saja atau beta saja, jadi sudah spesifik untuk isomer tertentu saja.
Terakhir dibahas mengenai analisis vaksin terbaru, berdasarkan hasil diskusi. Diuji dengan bakteri sejenis, gunakan jurnal, lalu diuji keamanannya, tidak boleh ada satu pun hewan uji yang mati, dicari lengkap uji potensinya bagaimana lalu dibandingkan dengan produk WHO yang ada saat ini.


Demikian yang dapat saya tuliskan. Semua yang saya tulis di sini adalah yang saya catat di buku dan yang saya dengar ketika di kelas. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D

Sunday, September 27, 2015

Catatan Rancangan dan Pengembangan Formula #2

Sumber Gambar: pinterest.com

Kembali mata kuliah ini diajari oleh Pak Sutriyo. Dipelajari mengenai pertimbangan biofarmasetika dalam merancang produk obat. Beliau bertanya, "Apa itu biofarmasetik? Bagaimana obat atau zat aktif diabsorpsi? Untuk apa sediaan farmasi dibuat? Fungsinya?" Biofarmasetik merupakan illmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Obat dapat diabsorbsi karena memang dari sifat fisikokimianya mudah diabsorpsi atau obat itu dirancang sedemikian rupa dalam suatu sediaan farmasi yang pada akhirnya dapat diabsorpsi. Oleh karena itulah, sediaan farmasi dibuat agar dapat menghantarkan obat. 

Dalam absorpsi obat, terdapat rate limiting step atau tahap penentu dalam absorpsi obat yaitu kelarutan dan permeabilitas. Mengenai ini ada yang disebut dengan biopharmaceutical classifical system (BCS) yang membagi kelompok obat menjadi beberapa kelas. 


Kelas I merupakan obat yang paling mudah diformulasi, tidak memiliki masalah, karena memiliki kelarutan dan permeabilitas yang baik. Kelas II merupakan obat yang paling umum, yaitu sebagian besar obat memiliki permeabilitas yang  baik namun kelarutannya buruk. Jadi untuk obat yang seperti ini perlu ditingkatkan kelarutannya baik dengan modifikasi fisika misalnya pengadukan, maupun modifikasi kimia seperti pembentukkan garam, pembentukkan senyawa lain, atau pembentukkan dispersi padat. Kelas III merupakan kelas yang memiliki kelarutan yang baik, namun permeabilitasnya buruk. Modifikasi yang bisa dilakukan adalah terkait dengan koefisien partisinya. Nilai log P yang dimodifikasi. Sementara kelas IV merupakan obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang buruk. Dengan demikian, salah satu yang harus diperhatikan dalam formulasi obat adalah mengenal obat berdasarkan BCS ini.

Selain sifat fisikokimia, yang mempengaruhi bioavailabilitas obat adalah formulasinya dari segi faktor farmasetik. Terkait dengan bioavailabilitas, untuk sediaan padat, tablet yang paling banyak memiliki masalah, apalagi tablet yang disalut. Tahapan yang dilalui dalam tubuh lebih panjang dibandingkan dengan kapsul, granul, serbuk, dan sebagainya. Di faktor farmasetik, bahan tambahan ada yang bisa mempengaruhi bioavailabilitas, konteksnya pada pelepasan biasa, yaitu lubrikan. Lubrikan dalam jumlah banyak dapat menghambat proses disolusi. Jadi, terkait formulasi, tidak hanya dilihat kompatibel atau tidaknya saja, tetapi juga bagaimana interaksinya dalam tubuh.

Di pertemuan ini, dibahas lagi mengenai studi praformulasi yang melihat bahan obat dari segi makroskopis. Dilihat bahannya, apakah serbuk atau kristal. Kalau kristal, lihat penampakkan luarnya, apakah bentuknya kubus, prisma, atau flat. Hubungannya bentuk ini terhadap flowabilitas dan kompleksibilitasnya, jadi hal ini mempengaruhi prosedur pembuatannya. Lalu dilihat, ada atau tidaknya polimorfisme, contohnya obat yang punya polimorfisme adalah TiO2, obat ini punya 3 bentuk. Pengaruh polimorfisme itu terkait dengan stabilitasnya. Contoh lain kloramfenikol, polimorfismenya mempengaruhi kelarutannya.

Dibahas juga mengenai hubungan pH dengan bioavailabilitas obat, kaitannya dengan pKa obat. Obat kalau tidak bersifat asam lemah, pasti basa lemah. Obat yang  mudah diabsorpsi adalah yang dalam bentuk molekul. Dalam hal inilah, pKa dari obat berperan. Contohnya pada lambung yang bersifat asam, obat yang asam lemah, berdasarkan pKa-nya akan berada dalam bentuk molekul sehingga mudah diabsorpsi, sementara obat basa lemah, berdasarkan pKa-nya akan terionisasi sehingga berada dalam bentuk ion dan agak sulit diabsorpsi. 

Stabilitas juga menentukan bioavailabilitas. Salah satunya stabilitas obat terhadap first effect metabolism, terhadap fotolisis, terhadap hidrolisis, terhadap oksidasi, dan lainnya. Obat dalam bentuk senyawa ester akan rentan terhadap hidrolisis. Antibiotik golongan  beta laktam juga rentan terhadap hidrolisis, serta senyawa-senyawa yang memiliki gugus tiol, sulfonamida, lakton, dan alifatik terhalogenasi. Lalu bagaimana mengatasi agar tetap stabil? Obat-obat yang rentan terhadap hidrolisis, dalam pembuatannya harus dicegah agar tidak dapat berkontak dengan air. Bagaimana jika sediaannya liquid? Dapat diatasi dengan pengaturan pH. Obat yang rentan teroksidasi, dihindari dari zat-zat yang dapat mengoksidasi seperti oksigen, misal dapat pembuatannya dialiri gas nitrogen.

Selanjutnya, dalam formulasi harus pula dapat mengidentifikasi permasalahan terkait zat aktif dalam bentuk sediaan. Misalnya dibuat emulsi, apa saja permasalahan yang dapat terjadi? Pemisahan fase misalnya. Diingat lagi mengenai hukum termodinamika, kondisi stabil dapat dicapai ketika energi bebasnya kecil, sehingga perlu dibuat suatu sistem yang ketidakstabilannya minimal. Kalau suspensi bentuk ketidakstabilannya caking. Kalau gel bentuk ketidakstabilannya sineresis, yaitu gel tidak mampu menyerap air di dalamnya.

Kalau di biofarmasetik, yang dipermasalahkan bukan soal sediaannya, tetapi bagaimana bioavailabilitasnya. Jadi, pada registrasi obat, diperlukan uji BA/BE, untuk mengetahui apakah zat aktif tersebut dapat mencapai kondisi yang diinginkan.

Sekian yang saya catat. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung ^^

Catatan Manajemen Farmasi Komunitas #3

Sumber Gambar: prspharmacyservices.com

Dalam pertemuan ketiga ini, dibahas mengenai hasil diskusi kelompok yang mana tiap kelompok dibagi tugas untuk mengelompokkan tiap aktivitas-aktivitas yang ada di apotek. Pada dasarnya di dalam apotek menurut penjelasan Pak Umar, aktivitas dibagi menjadi 3 yaitu pelayanan/penjualan, pembelian, dan administrasi/TU/bagian umum. Karyawan yang di bagian penjualan dilarang melakukan pembelian dan begitu pula sebaliknya. Hal ini untuk mencegah korupsi. Kaitannya dengan keuangan, ada prinsip-prinsip akuntansinya, atau prinsip pengelolaan keuangannya. Bagian administrasi yang akan mencatat keuangan dan melaporkannya ke atasan. 

Dengan demikian, di apotek, diperlukan sumber daya manusia yang tidak bisa hanya 1, seorang apoteker tetap harus dibantu, karena apoteker juga perlu istirahat. Bedanya dengan toko kelontong biasa, tentu yang dijual beda. Misalnya beli minuman di toko kelontong, ambil yang mana saja boleh, tapi kalau di apotek, yang dijual obat, salah ambil, bisa mengancam nyawa.

Ada pertanyaan, "Apakah apotek boleh melakukan promosi?" Pak Umar mengatakan kalau dulu itu belum boleh. Kalau sekarang, cenderung diperbolehkan namun masih terus dikaji. Yang dibolehkan adalah mengiklankan apoteknya, misalnya apotek ini memiliki ruang parkir yang luas, tempat tunggu yang nyaman, 24 jam dan lainnya. Yang tidak boleh adalah mengiklankan apotekernya, kami memiliki apoteker yang ahli, karena dari segi pedoman disiplin apoteker Indonesia Bab IV Bentuk Pelanggaran Disiplin Apoteker nomor 21 disebutkan bahwa tidak boleh mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan. Kemudian muncul pertanyaan, "Bagaimana jika memang apoteker tersebut memang ahli?" Untuk yang ini saya tidak tahu, dan ketika dibahas dalam kelas, saya tidak memperoleh jawaban yang pasti. 

Kemudian dilanjutkan materi mengenai kompetensi yang harus ada pada manager. Kali ini terkait dengan conceptual skill. Di bawah ini adalah komponen-komponennya:
  1. Menggunakan informasi untuk memecahkan masalah bisnis. Seperti apa informasi-informasinya? Misalnya masalahnya adalah penjualan turun, setelah diselidiki ternyata informasi yang berkaitan adalah mengenai kurs dollar yang naik. Atau masalah kurangnya modal untuk bisnis, maka perlu dicari informasi pinjaman. Jadi, seluruh persoalan bisnis, harus dicari informasinya untuk dapat memecahkannya.
  2. Menggunakan informasi untuk peluang inovasi. Inovasi sangat penting, karena perusahaan-perusahaan yang survive adalah perusahaan yang melakukan inovasi-inovasi. Misalnya apotek masih menggerus obat menggunakan lumpang dan alu, lalu dilakukan inovasi diganti dengan mixer yang kebetulan sudah ada teknologinya yang membuat pencampuran obat menjadi lebih efektif dan efisien. Dicari lagi, inovasi-inovasi apa lagi yang bisa dilakukan? Misalnya delivery order atau apotek online.
  3. Menetapkan area persoalan dan melakukan pemecahannya. Misalnya penjualan turun, dicari apa penyebabnya. Misalnya ditemukan hal ini akibat daya beli yang kurang, pelayanan yang lambat,atau karena sumber daya manusianya yang kurang terampil. Oleh karena itu misalnya SDM-nya diajak ke pelatihan-pelatihan.
  4. Memilih informasi kritis dari data induk. Ada hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, bahwa semakin banyak data yang diperoleh, akan semakin rumit pengambilan keputusannya.
  5. Memahami penggunaan teknologi dalam bisnis. Misalnya alat penghancur tablet,pembungkus serbuk, ata alat pengisi kapsul. Dipertimbangkan dengan saksama cost benefit-nya.
  6. Memahami model organisasi bisnis/apotek.
Selanjutnya dibahas mengenai apotek mandiri dengan apotek franchise. Apa bedanya antara apotek mandiri dan franchise ini? Dari hasil diskusi, perbedaannya, kalau apotek mandiri, pengusaha atau apotekernya akan lebih merasakan perjuangannya, mengenai jatuh bangunnya, tantangan di awal, merasakan manis pahitnya, serta dapat menentukan bentuk bisnisnya sendiri. Sementara apotek franchise, sudah ada standar obat yang disediakan, sudah ada bentuk bisnisnya, sudah ada ketentuan haranya, sudah punya brand, dan sudah ada mekanisme promosinya sendiri. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Selain conceptual skill, communication skill juga penting. Yang mana komponennya antara lain:
  1. Kemampuan menyampaikan idenya dalam bentuk kata maupun tindakan.
  2. Kredibilitas di antara kolega, sejawat, teman sendiri, dan bawahan.
  3. Mendengarkan dan mengajukan pertanyaan.
  4. Presentation skill, kerangka bicara.
  5. Presentation skiil, baik tertulis maupun format grafik.
Selanjutnya, juga ada effectiveness skill yang komponennya terdiri dari:
  1. Berkontribusi pada misi perusahaan.
  2. Fokus pada customer.
  3. Multitasting.
  4. Kemampuan bernegosiasi.
  5. Project management.
  6. Reviewing operations and implementing improvements.
  7. Pengaturan dan memonitor standar kinerja baik secara internal maupun eksternal.
Aktivitas di apotek supaya efektif, harus ada standar operasional, atau dibuat SOP (Standard Operating Procedure). Misalnya waktu untuk meracik berapa lama, waktu mencari produk yang sudah ada berapa  lama, dan sebagainya. Para manager harus benar-benar bisa mengatur waktu, bahkan untuk top manager, sudah ada jadwal untuk 1 sampai 3 bulan ke depan.

Yang terakhir, adalah interpersonal skill, antara lain:
  1. Kemampuan melatih (coaching) dan mensupervisi (mentoring).
  2. Kemampuan berbaur, bekerja dengan berbagai orang dengan budaya yang berbeda (diversity skill).
  3. Membuat jaringan di dalam organisasi (networking within the organization).
  4. Membuat jaringan di luar organisasi (networking outside the organization).
  5. Bekerja dalam tim dan memiliki komitmen. Pada kondisi tertentu, ego dalam tim harus direndahkan agar dapat mencapai tujuan.
Demikian yang dapat saya catat. Katanya, kelas dengan Pak Umar pada mata kuliah ini tinggal 2 pertemuan lagi. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D

Saturday, September 26, 2015

Catatan Manajemen Farmasi Komunitas #2

Sumber Gambar: www.huffingtonpost.com

Jika dibandingkan dengan catatan sebelumnya di sini, catatan pada pertemuan kedua ini akan lebih banyak karena memang ada lebih banyak catatan yang saya tulis di buku saya. Pertemuan kedua ini dilaksanakan pada minggu ketiga perkuliahan, karena pada minggu keduanya Pak Umar tidak dapat hadir karna harus menghadiri suatu pelatihan dalam 5 hari berturut-turut. Beliau memberikan nasehat kepada kami, nantinya di dunia kerja, semua profesi akan bersaing, mereka yang punya skill, informasi, dan keahlian yang lebih dari yang lain akan menang. "Jadi mumpung masih muda, gali impian sebesar mungkin!"

Manajemen farmasi komunitas, berhubungan dengan orang yang melakukan manajemen, yaitu manag. Apa saja yang dilakukan manager? Berikut adalah hal-hal yang dilakukannya:
  1. Planning. Melakukan perencanaan untuk bisa mencapai strategi atau goal yang ditetapkan. Dalam hal ini ada 3 unsur yang saling terintegrasi, yaitu strategi, goal, dan action planning. Misalnya hari ini memiliki goal untuk dapat sampai  ke Semarang pada pukul 2, sementara sekarang sudah jam 11, maka apa yang harus dilakukan? Susun strategi, cari informasi bagaimana bisa mencapainya, misalnya pesan tiket online dari maskapainya langsung. Lalu langsung action planning, naik taksi ke bandara, check in, dan sampai di tempat tujuan.
  2. Organizing. Menentukan tugas apa yang akan dilakukan. Siapa yang mengerjakan? Bagaimana tugas dikelompokkan? Siapa yang melaporkan dan melaporkan ke siapa?
  3. Leading. Memotivasi subordinat. Dalam hal ini subordinat merupakan sinonim dari bawahan. Jadi, sekarang istilah "subordinat" lebih banyak digunakan dibandingkan bawahan. Karena kesannya kalau memakai kata "bawahan" seperti terinjak-injak. Jadi, kepemimpinan intinya adalah bagaimana memotivasi dan mempengaruhi orang lain dan hal ini bukanlah hal yang mudah. Kita tidak bisa semata-mata menggunakan power kita, misalnya, "Oh ya sudah, gampang saja, diberi surat peringatan saja." Salah-salah nanti kita sendiri yang rugi misalnya orang yang akan diberi itu memiliki backing-an orang penting. Jadi, kita harus selalu berusaha memotivasi dan mempengaruhi orang lain tanpa harus menggunakan power
  4. Controlling. Yaitu memonitor performance (kinerja), keberhasilan kerja yang saat itu dicapai, lalu dibandingkan dengan goal. Jadi, ada evaluasi. Misalnya ada suatu hal yang terlambat, maka dievaluasi kenapa bisa terlambat, dan bagaimana caranya berikutnya tidak terlambat lagi.
Menarik membahas kepemimpinan, karena berkaitan dengan orang lain, maka kita harus mengerti tentang orang  itu. Setiap orang itu unik, orang yang kembar identik saja, masih ada bedanya.  Dengan mempelajari orang lain, membaca karakter orang lain, maka kita bisa tahu bagaimana caranya memotivasi orang itu. Orang yang paling mudah dimotivasi adalah orang yang cepat dengan kita. Ada banyak cara memotivasi orang lain, untuk orang yang susah membuat keputusan, akan mudah dipengaruhi. Misalnya ada seorang  ibu dengan karakter seperti ini, "Saya batuk, saya bingung harus beli obat seperti apa." Kita bisa menanggapinya dengan mengatakan, "Jika ibu batuk seperti itu, maka ini adalah pilihan yang terbaik." Tetapi ada juga orang yang memiliki pendirian yang kuat dan tidak bisa digoyahkan, misalnya, "Saya mau beli obat batuk X!" Jangan kita katakan, "Pak, obat X itu seperti ini, akan lebih baik yang obat Y." Orang itu akan kukuh, "Saya maunya obat X, ya obat X, bukan Y!" Jadi untuk orang seperti ini ya paling tepat adalah memenuhi keinginannya. Tapi apa bila barangnya tidak tersedia, kita bisa mengatakan, "Pak, obat ini habis, tetapi ada obat lain yang isinya dan khasiatnya sama."

Kita bisa mempelajari karakter tiap orang dari buku Personality Plus. Buku ini membagi karakter orang menjadi empat, yaitu koleris, sanguinis, plegmatis, dan melankolis. Dengan mengetahui karakter orang lain, bahkan lewat telepon saja sudah dapat mengetahuinya orang seperti itu memiliki karakter seperti apa. Apalagi kalau bisa membaca karakter bos kita, kita akan lebih mudah dipromosikan. Semua ini ada kaitannya dengan salah satu kompetensi apoteker yang harus dikuasai, yaitu komunikasi. 

Secara singkat, beliau menjelaskan perbedaan antara empat macam karakter itu. Orang yang diceritakan sebelumnya yang tegas yang memiliki pendirian yang kuat merupakan orang dengan tipe koleris. Berbeda sekali dengan orang sanguinis, orang sanguinis paling heboh, jika orang koleris mulutnya satu, orang  sanguinis mulutnya banyak. Jika ada yang bertanya, siapa yang tiket gratis, orang sanguinis akan dengan hebohnya mengangkat tangan dan berteriak, "SAYAAA!!!". Orang sanguinis itu lebih mengenal warna, jika ditanya mengenai nama orang lain mungkin orang itu lupa, tetapi jika diingatkan dengan warna, orang ini lebih ingat, "Oh ibu itu yang pakai baju kuning ya?" Jika kita adalah orang sanguinis lalu berhadapan dengan orang koleris, meskipun bisa bermulut banyak (banyak bicara) maka harus menyesuaikan dengan orang koleris dengan sedikit bicara. Jadi, kita harus bisa membaca  lawan komunikasi kita, jika ingin komunikasinya efektif atau pesan yang ingin disampaikan tercapai dan mendapat respon yang baik pula.

Sementara orang plegmatis, bisa diilustrasikan dengan kondisi yang sama, misalnya diminta untuk mengambil keputusan siapa yang mau ikut ke pantai, orang ini akan bertanya-tanya kepada orang lain, tidak hanya satu, bisa hampir ke semua orang, "Kamu ikut ga? kalo kamu ikut ga? Dina kamu ikut ga? Ipul ikut?" Orang ini sulit mengambil keputusan, bahkan ketika membeli baju juga banyak minta pertimbangan dari orang lain. Kalau orang melankolis, merupakan tipe orang yang sangat sistematis dan perfeksionis. Orang ini memiliki serangkaian rutinitas yang sama, penampilan selalu rapi, dan barang-barang di sekitar juga tersusun dengan amat rapi. Orang seperti ini mudah stres ketika  ada satu hal yang menyebabkan adanya ketidaksistematisan, misalnya orang ini biasa menaruh sepatunya di rak sebelah kiri. Ketika sepatunya tidak ada di sana, orang ini akan amat frustasi.

Kembali lagi membahas mengenai manajemen, dalam distribusi manajemennya, dimulai dari pembuatan perencanaan atau planning yang dilakukan oleh top manager. Selanjutnya diikuti dengan pembagian tugas yang disebut  dengan organizing yang dilakukan oleh middle manager/ Dala pelaksanaannya di lapangan, yang memimmpin adalah first line manager. Rangkaian proses itu selalu meliputi input -> proses -> output lalu kembali lagi ke input, jadi merupakan suatu hal yang continous. Jadi, tidak bisa apabila di bagian perencanaan mengatakan, "Tugas perencanaan saya sudah selesai, jadi saya mau libur 5 hari." Tidak bisa begitu saja, karena dalam pelaksanaannya selalu bisa muncul sehingga perlu mengubah strategi atau perencanaannya. Jadi, harus selalu ada evaluasi. 

Selain dalam hal planning, top manager juga berperan kaitannya dengan interpersonal misalnya tugas-tugas yang bersifat seremonial (gunting pita) dan kaitannya dengan decisional, terkait dengan pengambilan keputusan. Selain itu juga memiliki peran informational. Dalam arti, top manager memang harus yang paling tahu dibandingkan dengan subordinat. Oleh karena itulah, biasanya top manager selalu difasilitasi dengan ruang baca  koran. 

Apa lagi yang dilakukan manager? 
  1. Melakukan interaksi dengan yang lain, misalnya dengan kepala HR atau orang dalam organisasi yang sama, atau berinteraksi dengan orang lain dari organisasi atau perusahaan yang berbeda. 
  2. Melakukan refleksi, gambaran ke depan akan menjadi seperti apa. Oleh karena itu manager  dibayar lebih tinggi, karena harus berpikir keras (konseptual). Maju tidaknya perusahaan ada di tangan manager.
  3. Action. Tidak hanya sekedar omong doang, tetapi juga mengerjakannya. Contohnya adalah manager yang membawahi medical representative, sebelum karyawan itu turun ke  lapangan menjalankan tugasnya, manager mencontohkan terlebih dahulu kepada  karyawannya bagaimana mengerjakan tugasnya, mulai dari dialog dengan dokter dan seterusnya. 
Dengan demikian, manager harus memiliki management skill berupa technical skill (memiliki pengetahuan teknis di bidang itu, misalnya jika menjadi supervisor pembuatan tablet, ya harus mengetahui cara pembuatan tablet) dan ability to work with other people both individually or in group (kalau tidak bisa bekerja sama ya tidak akan jalan perusahaannya), serta conceptual skill (memiliki kompetensi untuk berpikir dan mempelajari suatu hal yang abstrak dan kompleks, memahami kondisi subordnat dan bagaimana menyesuaikan kondisi organisasi sesuai dengan lingkungan luas). Jika peran ini dibagi berdasarkan tingkatan managernya, top manager lebih ditekankan pada conceptual skill, middle manager lebih ditekankan pada mengorganisasikan sumber daya manusia, sementara first line manager lebih ditekankan pada technical skill.

Sekian yang dapat saya tuliskan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D 

Catatan Rancangan dan Pengembangan Formula #1

Sumber Gambar: www.pacificfertilitycenter.com

Mata kuliah RPF ini, diajari oleh Bu Silvi dan Pak Sutriyo, namun pada catatan ini, saya akan menuliskan apa saja yang saya catat ketika kelas yang berlangsung adalah ketika Pak Sutriyo yang mengajar. Kata beliau, pada dasarnya, sebagian besar materi telah dipelajari di S1, di program profesi ini, beliau diminta untuk memastikan dan menjelaskan bagaiamana caranya mencapai kompetensi-kompetensi apoteker yang telah ditentukan oleh IAI terkait sains dan teknologi. Selain itu, pada pertemuan pertama ini, dilanjutkan dengan membahas studi praformulasi.

Mengenai kompetensi ini, apoteker harus mampu memformulasikan sediaan farmasi sesuai standar yang berlaku mulai dari persiapan pembuatan obat (standar formulasi, jaminan mutu, ketersediaan peralatan, dan penilaian ulang formulasi) hingga membuat formulasi (mempertimbangkan persyaratan untuk memenuhi spesifikasi yang ada dalam farmakope, persiapan dan menjaga dokumentasi obat "melakukan yang ditulis dan menulis apa yang dilakukan", pencampuran zat aktif dengan zat tambahan, menerapkan prinsip teknik pembuatan steril dan non steril, pengemasan, serta pengawasan mutu).

Di industri, seorang apoteker paling tidak berkarir di bidang RnD (research and development), formulasi, serta regulatori. Di samping itu juga tentu dapat berkarir di 3 posisi kunci yang bahkan telah dilindungi peraturan pemerintah no.51 tahun 2009 yaitu kepala bagian produksi, pengawasan mutu (QC), dan pemastian mutu (QA). 

Pada pengembangan produk, kompetensi yang dituntut antara lain:
  1. Formulasi. Apoteker dapat membuat sediaan obat jadi yang aman, berefikasi, bermanfaat, bermutu, stabil dan efektif.
  2. Pharmaceutical technology. Mampu mengaplikasikan formula pada fasilitas produksi serta transfer energi, tidak hanya memiliki formula tetapi tidakdapat mengaplikasikannya.
  3. Packaging  material development. Mampu mendesain dan menentukan kemasan yang sesuai dengan fungsi kemasan utama yaitu sebagai protektif.
  4. Data registrasi. Mampu melakukan registrasi dan menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan.
Selain itu, apoteker juga dituntut untuk dapat memanajemen bahan terkait dengan:
  1. Pengadaan. Ketika PKPA, mahasiswa harus benar-benar memanfaatkan waktunya untuk mempelajari seluruh aktivitas berkaitan dengan  pengadaan, bagaimana melakukan pengadaan yang sesuai agar tidak pernah kosong dan bagaimana caranya agar bahan-bahan tidak menumpul. Hal ini kaitannya dengan persoalan tempat dan investasi.
  2. Gudang. Mampu mengetahui proses mulai dari penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran serta cara bagaimana menjaga keamanan dan kuantitas.
  3. PPIC. Terkait dengan perencanaan bahan baku, produksi, monitor jadwal poduksi. Misalnya pada bulan ke berapa berencana untuk produksi, dan mengenai ini harus direncanakan pengadaan bahan bakunya jauh-jauh hari. Ini merupakan hal yang tidak mudah karena biasanya memakan waktu lama dan harus dipastikan memenuhi spesifikasi.
Sementara terkait manajemen mutu, berikut kompotensi yang harus dimiliki:
  1. Mampu menyusun memodifikasi, menggunakan metode analisis untuk pemeriksaan semua bahan (bahan baku, bahan pengemas, produk antara, dan produk jadi), serta ruahan. Terkait dengan bahan pengemas yang digunakan, alat ujinya masih terbatas misalnya uji kualitas alumunium foil. Masih terkait ini, produk antara adalah produk yang masih memerlukan beberapa langkah dalam produksi untuk mejadi produk jadi, sementara produk ruahan merupakan produk yang tinggal 1 langkah lagi untuk menjadi produk jadi, yaitu pengemasan.
  2. Mampu melakukan studi stabilitas. Hal ini suda ada formatnya, misalnya untuk negara ASEAN, uji stabilitas dipercepat, dilakukan selama 6 bulan, sampling dilakukan minimal 3 kali, dan sebagainya. Lalu terkait pengujian apa saja yang harus dilakukan untuk sediaan farmasi tertentu, misalnya tablat, semua evaluasi harus dilakukan seperti keragaman bobot, keseragaman kandungan, kekerasan, keregasan, karena hal ini juga terkait dengan stabilitas kaitannya dengan pada proses penyimpanan, dapat mengalami perubahan. Hal ini juga tidak jauh dari definisi stabil, yaitu dikatakan stabil apabila mutunya tidak berubah atau dapat mempertahankan mutunya. Jadi, yang diuji adalah seluruh karakteristik mutunya. 
  3. Mampu menyelidiki kegagalan, penyimpangan bets, prosedur pengolahan, dan pengemasan ulang.
  4. Memahami rancang bangun fasilitas dan sertifikasi CPOB.
  5. Mampu menangani keluhan, obat kembalian, dan penarikan obat jadi. di ISO ada caranya bagaimana menangani keluhan. Misalnya dilakukan simulasi, berapa lama harus melakukan penarikan obat jadi sehingga kalau ada masalah terkait ini,sudah tahu bagaimana menanganinya. 
  6. Mampu melakukan penilaian pemasok. Misalnya membeli bahan baku, tidak hanya sekedar menganalisis spesifikasi bahan, tetapi juga menilai pemasok, semacam audit pemasok. Sedapat mungkin menghindari pemasok yang melakukan packing ulang, karena kegiatan tersebut dapat meningkatkan risiko kontaminasi.
  7. Mampu melakukan kalibrasi, kualifikasi, dan validasi. Kalibrasi bisa dilakukan secara internal (lebih murah) atau eksternal. Kalau internal, harus ada personil dalam pabrik yang mampu melakukannya, misalnya karena telah mengikuti pelatihan.
  8. Mampu mengendalikan perubahan.
  9. Mampu melakukan dokumentasi.
Kompetensi terkait manajemen produk antara lain:
  1. Melakukan formulasi desain.
  2. Mengenai material, mampu menangani bahan.
  3. Terkait processing, mampu membuat sesuai jumlah dan spesifikasi, misalnya kalau produksi 1 juta, ya harus 1 juta jangan sampai loss atau kurang, loss itu maksimal 5% dari yang ditentukan. Ketika PKPA, banyak kesalahan dari industri terkait dengan loss yaitu mengenai jumlah yang diproduksi tidak sesuai dengan yang ditetapkan. Dosen bertanya, "Susut itu biasanya kan negatif ya, artinya terjadi kekurangan. Apakah susut bisa positif?" Kalau produknya liquid hal tersebut mungkin terjadi. Loss yang positif juga tidak bagus. 
  4. Mampu mempertimbangkan terkait etis (environment, health, safety).
Apoteker juga harus memiliki kompetensi seputar regulasi seperti bagaimana melakukan regulsi, seperti apa prosesnya, bagaimana caranya mendapatkan sertifikasi, informasi apa saja yang harus ada pada produk, bagaimana memohon izin edar, serta bagaimana pelaporan hasil uji klinik.

Pada program profesi, seluruh kompetensi tersebut harus dapat tercapai. Kesempatan yang paling mungkin mencapainya adalah pada saat PKPA, jadi mahasiswa harus benar-benar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk belajar.

Sampai di situ pembahasan mengenai kompetensi yang harus dicapai apoteker mengenai sains dan teknologi. Selanjutnya yang  dibahas adalah mengenai perancangan dan pengembangan formula terkait dengan studi praformulasinya. Tentunya, sebelum formulasi, harus ada pengkajian, atau studi literatur dulu terhadap seluruh hal yang ada pada kegiatan formulasi termasuk bahan-bahan yang digunakan.

Studi praformulasi bertujuan untuk membuat sediaan yang stabil, efektif, dan aman. Untuk mengetahui stabil atau tidak harus mengetahui sifat-sifat dari bahan baku yang digunakan. Jadi kalau saat proses tidak stabil, akan mengetahui apa yang harus dilakukan. Praformulasi merupakan cabang pharmaceutical science yang menggunakan prinsip biofarmasetik, berupa tahap pengembangan dan mempertimbangkan sifat fisikokimia, serta fase penelitian dan pengembangan obat yang  stabil, efektif, dan aman.

Terkait dengan mengatasi masalah saat proses, apabila kita sudah melakukan identifikasi sebelumnya saat praformulasi, maka sekitar 50% kita sudah mampu mengatasi masalah saat proses tersebut. Misalnya, bagaimana cara mengatasi obat yang tidak stabil terhadap hidrolisis? Kalau kita sudah mengumpulkan banyak data mengenai bahan-bahan itu, maka kemungkinan kita bisa mengatasinya. Jika informasi tidak dapat diperoleh dari literatur, artinya harus melakukan penelitian.

Ada beberapa tahapan pada studi praformulasi, antara lain:
  1. Menentukan sifat fisikokimia dari zat aktif.
  2. Melakukan studi secara makroskopis dan mikroskopis. terkait ini, suatu bahan padat itu bisa berbentuk amorf atau kristal. Apabila bentuknya kristal, ada banyak lagi macamnya. Bentuk inilah yang harus diidentfikasi. Nantinya akan bermanfaat saat poduksi, yaitu terkait dengan laju alir, beda bentuk akan beda laju alirnya. 
  3. Melakukan studi bentuk polimorfisme. Polimorfisme juga mempengaruhi hasil. Polimorfisme artinya suatu zat bisa berada dalam berbagai bentuk lebih dari satu bentuk kristal. Contohnya kloramfenikol, tersedia dalam tiga bentuk, masing-masing bentuk memiliki sifat solubilitas yang berbeda. Ada juga akibat polimorfisme yang mempengaruhi efikasinya juga. Mengenai ini, ada kaitannya dengan kompetensi apoteker, seorang apoteker harus mampu mengendalikan bagaimana menangani suatu bahan yang mengalami perubahan bentuknya. 
  4. Mengidentifikasi bentuk hidrat dan solvat. Bentuk hidrat merupakan bentuk yang paling umum, definisi dari hidrat artinya suatu molekul air terjerap dalam bahan tersebut, jumlahnya sesuai dengan stoikiometri. Sementara kalau solvat, yang terjebak adalah pelarut non air. Jadi harus tercatat pelarut apa yang terakhir digunakan, karena ada kemungkinan solvatasi. 
  5. Menganalisis solubilitas, pKa, dan partisi. Hal ini penting terkait dengan pencapaian efek terapetiknya.
  6. Uji stabilitas. Oleh karena  itu, perlu dipilih zat dalam bentuk yang paling stabil. Selanjutnya jika sudah bagus, dilanjutkan dengan membuat laporan dan desain formula zat aktif.
Jadi, kalau tidak melakukan serangkaian tahapan di atas, akan sulit memperoleh sediaan yang stabil, aman, dan efektif.
 
Kalau pada sediaan steril yang sebagaian besar berupa sediaan liquid, stabilitasnya tentu lebih rendah dibandingkan sediaan padat. Hal ini terkait dengan wujud zat. Pada sedian liquid, jarak antar partikel agak renggang dibandingkan zat padat, sehingga memungkinkan adanya gerakan acak. Jika dikaitkan dengan reaksi kimia maka tumbukkan yang terjadi dapat menghasilkan reaksi kimia dan mengancam stabilitas. Jadi, pada sediaan liquid, uji stabilitas menjadi sangat penting. 

Masih terkait produk steril, harus diketahui stabilitasnya terhadap panas, berhubung salah satu metode sterilisasi yaitu dengan cara panas sehingga dengan mengetahui hal itu, bisa dipilih metode sterilisasi mana yang lebih tepat.

Pada penyusunan formula, selain stabilitas, inkompatibilitas terhadap eksipien juga harus diperhatikan. Jika inkompatibel, maka eksipien tersebut jangan digunakan. Jadi, sebenarnya formula paling baik itu adalah yang  paling simpel komposisinya karena semakin banyak akan semakin besar kemungkinan adanya inkompatibilitas. Apalagi, semakin kompleks akan semakin sulit pula analisisnya. 

Selain itu, cost effective juga harus dipertimbangkan. Misalnya tidak mengapa harga bahan baku mahal, lalu untuk menekan biaya tersebut diimbangi dengan biaya peralatan serta proses yang lebih murah. 

Demikian yang saya catat pada pertemuan pertama mata kuliah ini. Kesalahan dalam penulisan maupun penjelasan bisa terjadi, jadi saya mengharapkan untuk menggali informasi lebih lanjut dari literatur yang lebih tepat. Saya mohon maaf jika ada kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung ^^

Friday, September 25, 2015

Catatan Teknologi Pangan #1

Sumber  Gambar: belmontmarket.com

Pertemuan pertama mata kuliah ini dilaksanakan pada minggu ketiga perkuliahan, setelah dua minggu  tak kunjung ada kelas. Penasaran dengan mata kuliah ini, sehingga peminatnya cukup banyak, ada sekitar 65an mahasiswa yang mendaftar. Mata kuliah ini diajar oleh Prof Effi. Dosen Farmasi UI yang menurut saya pintar sekali, yang masa kuliahnya dulu benar-benar dimanfaatkan untuk belajar dengan baik. Beliau selalu menceritakan bagaimana perbedaan masa kuliah dulu ketika beliau muda dibandingkan dengan masa kuliah mahasiswa-mahasiswa sekarang ini. "Mahasiswa sekarang, tidak punya banyak waktu untuk belajar, selalu dikejar dengan target SKS dalam waktu lebih singkat, diberi banyak tugas, dan lainnya. Dulu, saya punya banyak waktu belajar, belajar bersama dengan teman-teman, bahkan kami masih sempat melakukan kunjungan-kunjungan beberapa kali ke tempat yang berkaitan dengan yang dipelajari, jadi apa yang dipelajari, dapat diingat terus, tidak seperti mahasiswa sekarang yang ingatannya banyak menguap. Saya agak prihatin dan khawatir dengan kondisi sekarang." 

Beliau juga mengatakan, "Mata kuliah ini akan bisa membuat kalian makin lapar, karena kita akan banyak bicara soal makanan. Enak kan? Kalau di mata kuliah yang lain bicara soal obat-obatan terus, di sini kita akan banyak belajar soal makanan". Pelajaran yang kita peroleh pertama kali, adalah mengenai rumput laut. Beliau bertanya, "Kenapa kita mempelajari rumput laut?" Karena rumput laut banyak dimanfaatkan industri pangan untuk meningkatkan kesehatan, industri pangan Jepang sangat menggemari ini. Setiap makanan hampir mengandung biota-biota laut, salah satunya rumput laut.

Pemanfaatan rumput laut di Indonesia perlu untuk ditingkatkan. Mengingat Indonesia adalah negara yang subur dan kaya, lebih dari 70% sumber hayatinya dapat dimanfaatkan, belum lagi masih banyak potensi laut yang belum dieksplorasi secara maksimal. Kalau bisa dimanfaatkan, tentunya akan dapat meningkatkan devisa negara yang besar. Mengenai potensi laut, selain ikan, rumput laut juga telah dimanfaatkan. Ada 22 jenis rumput laut yang dimanfaatkan di berbagai daerah baik di Sulawesi Tenggara, Pulau Seram, Bali, Lombok, dan lainnya. Pulau Seribu dan Riau juga punya 18 jenis rumput laut yangdimanfaatkan sebagai makanan dan obat tradisional. Tapi menurut beliau, berdasarkannya, masyarakat masih belum bisa menangani pengolahan rumput laut supaya tidak bau amis. 

Ada banyak kandungan nutrisi dari rumput laut, antara lain karbohidrat, tinggi protein, rendah lemak, mineral, vitamin A, B, dan C. Beliau bertanya, "Karbohidrat jenis apa yang dikandung oleh rumput laut?" Mahasiswa menjawab dengan berbagai versi, ada yang menjawab fruktosa, sukrosa, selulosa, carrageenan, dan lainnya. Namun yang  benar adalah Beliau kembali memancing, "Kalau begitu, jenis karbohidrat apa yang ada pada agar-agar?" Akhirnya beliau menjelaskan bahwa jenis karbohidrat yang dimaksud adalah agarosa. 

Kandungan menarik lainnya dari rumput laut adalah asam amino. Bayangkan, ada satu bahan makanan yang mengandung begitu banyak nutrisi, bahkan mengandung asam amino pula yang amat bermanfaat untuk pertumbuhan. Asam amino yang dikandung rumput laut bahkan berjumlah 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan yang dikandung oleh tanaman darat. 

Setelah itu, beliau menjelaskan secara singkat mengenai jenis-jenis karbohidrat yang lain seperti selulosa, alginat, dan karagenan. Sebenarnya ada banyak jenis-jenis karbohidrat lainnya, namun banyak yang tidak familiar dimanfaatkan karena ketersediaannya terbatas. Selulosa merupakan jenis karbohidrat yang tidak dimanfaatkan sebagai makanan, melainkan salah satunya dimanfaatkan dalam melancarkan buang air besar. Alginat merupakan jenis karbohidrat yang mahal harganya serta belum ada industri di Indonesia yang memproduksinya, sehingga banyak yang lebih memilih impor alginat sintesis atas dasar pertimbangan harganya yang relatif lebih murah. Sementara karagenan ada banyak macamnya, namun yang biasa dimanfaatkan untuk kosmetik adalah karagenan iota dan kappa.

Kembali membahas mengenai rumput laut. Rumput laut merupakan tumbuhan jenis alga, ganggang multiseluler. Rumput laut  tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati. Kandungan proteinnya, yang umumnya berupa monomer, sering dimanfaatkan sebagai makanan, contohnya adalah glutamat yang bisa memberikan rasa gurih dan enak. Sebenarnya glutamat tersedia dalam bentuk sintesis seperti natrium glutamat. Namun, industri pangan di Jepang, lebih menyukai glutamat yang terkandung dalam rumput laut. Karena glutamat tersebut tidak berada dalam bentuk garam. Kalau yang sintesis dalam bentuk garam, apabila masuk ke dalam tubuh, akan mudah masuk dan ada kemungkinan terselip pada asam nukleat, sehingga akibatnya bisa mengakibatkan mutasi gen, serta dampaknya ada risiko kanker.

Di Jepang, rumput laut diolah menjadi Nori, Kombu, dan Wakame. Nori merupakan bahan makanan berupa lembaran rumput laut yang dikeringkan. Bahan bakunya adalah alga jenis Porphyra seperti Porphyra pseudolinearis Ueda dan Porphyra yezoensis Ueda. Biasanya nori digunakan sebagai pembungkus sushi, atau digunakan dalam pembuatan udang gulung. Nori yang bagus adalah yang lentur, kering, dan berwarna hitam mengkilat. Hampir semua negara di ASEAN memanfaatkan nori, kecuali Indonesia. Dengan mengkonsumsi nori, sesungguhnya amat bermanfaat, yaitu dapat meningkatkan keceerasan karena kandungannya benar-benar "luar biasa" yaitu ada berbagai mineral seperti kalsium, iodium, dan kandungan asam aminonya. Jadi, amat baik bagi Indonesia, untuk mulai memanfaatkan nori dan mengkonsumsinya.

Sumber Gambar: wikipedia.com dan bussinessinsider.com (telah diolah kembali)

Kombu merupakan rumput laut dari spesies Laminaria japonica yang dipakai dalam masakan Jepang sebagai bahan dasar kaldu, dimasak bersama sayur-sayuran dan daging, atau diproses menjadi makanan olahan sebagai lauk teman makan nasi. 

Sumber Gambar: thekitchn.com

Wakame adalah makanan khas Jepang yang berukuran tipis, berwarna hijau tua, dan berserabut. Wakame merupakan sejenis rumput laut yang yang biasa digunakan sebagai sayuran hijau bagi masyarakat Jepang. Wakame dapat dimakan dengan dua cara yaitu dalam keadaan kering dan basah. Berasal dari spesies Undaria pinnatifida.

Sumber Gambar: comfoods.org.au
 
Sekian mengenai rumput laut, mengakhiri pula catatan mata kuliah teknologi pangan pada pertemuan ini. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D

Wednesday, September 23, 2015

Catatan Farmasi Industri #2

Sumber Gambar: www.csee-etuce.org

Pada pertemuan kedua ini, ada banyak yang dipelajari seputar mata kuliah farmasi industri (Alhamdulillah saya tidak mengantuk, jadi ada banyak yang dicatat), mulai dari sistem manajemen mutu hingga CPOB. Jadi, sebagian yang saya tulis di sini adalah apa yang saya tulis di catatan saya, berhubung dosen baru memberikan hand out-nya setelah pertemuan kedua ini serta dosen lebih banyak bercerita dan menjelaskan di luar yang ditulis di hand out-nya. Meskipun demikian, tetap ada beberapa yang saya ambil dari hand out-nya.

Mulai dari sistem manajemen mutu, sistem ini yang dipakai untuk mengelola industri terdiri dari 3 bagian utama, yaitu pemastian mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), dan pengawasan mutu. Mengenai pemastian mutu telah dipelajari di pertemuan pertama. 

Mengenai kegiatan yang ada pada pengawasan mutu, tidak jauh dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di laboratorium pengawasan mutu. Gambaran kegiatannya adalah seperti yang mahasiswa pernah alami saat praktikum analisis bahan baku farmasi atau analisis sediaan farmasi. Jadi pengawasan mutu bertanggung jawab terhadap suatu material baik bahan baku, bahan jadi, maupun pengemas. Dalam praktiknya, yang dianalisis adalah sampel atau contohnya. Fungsi dari adanya pengawasan mutu ini adalah untuk memastikan bahwa semua bahan telah memenuhi persyaratan, termasuk air yang digunakan. Mengenai air, ada suatu persyaratan khusus yang tidak dibahas pada pertemuan ini.

Dalam hal ini, pengawasan mutu harus bersifat independen, tidak boleh dibawahi oleh bagian produksi, untuk mencegah KKN. Di bawah ini adalah persyaratan dasar dari pengawasan mutu. 
  1. Sarana dan prasarana yang memadai.
  2. Personil yang terlatih.
  3. Prosedur yang disetujui tersedia untuk (a) pengambilan sampel (bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi), (b) pemeriksaan dan pengujian bahan, (c) pemantauan lingkungan.
  4. Produk jadi berisi zat aktif dengan komposisi secara kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan yang disetujui pada saat pendaftaran, dengan derajat kemurnian yang dipersyaratkan serta dikemas dalam wadah yang sesuai dan diberi label yang benar.
  5. Dibuat catatan hasil pemeriksaan dan analisis bahan dan dibandingkan terhadap spesifikasi.
  6. Sampel pertinggl dari bahan awal da produk jadi disimpan dalam jumlah yang cukup untuk dilakukan pengujian ulang bila perlu. Sampel produk jadi disimpan dalam kemasan akhir kecuali untuk kemasan yang besar.
Sebelum dilakukan analisis seluruh peralatan yang digunakan termasuk software harus divalidasi. Jadi, jangan mentang-mentang peralatan buatan merk terkenal misal Shima*zu, maka tidak divalidasi. Kemudian, sebagaimana yang telah dijelaskan di pertemuan sebelumnya, bagian pengawasan mutu tidak boleh begitu saja mengeluarkan laporan suatu bahan tidak memenuhi persyaratan, misalnya persyaratan kadarnya antara 95 sampai 105%, hasil pemeriksaan 90%. Penemuan ini harus dikaji terlebih dahulu, bisa jadi terjadi kesalahan pada sistem peralatannya, atau petugasnya yang salah prosedurnya.

Dosen bertanya, apa yang dimaksud dengan validasi? Tidak ada yang menjawab, jujur kita pernah mempelajarinya di S1, namun lupa :p 

Validasi itu dilakukan agar dapat diperoleh data yang konsisten. Validasi metode analisis dan validasi proses itu berbeda. Namun, tidak dijelaskan seperti apa perbedaannya. Yang jelas pada validasi metode analisis itu seperti yang akurasi, presisi, rentang, linieritas, dan sebagainya.

Selain itu, tidak mudah pula meloloskan suatu bahan. Perlu untuk mengumpulkan seluruh data hasil uji dari tiap periode waktu. Misalnya memang telah jelas persyaratan kadar bahan tersebut adalah 95 sampai 105%, berdasarkan data yang dikumpulkan rata-rata kadar bahan tersebut adalah 97-103%, ketika dalam pengujian diperoleh kadar 95% meskipun masih sesuai dengan persyaratan spesifikasi bahan tersebut, penemuan ini perlu dikaji lagi karena tidak sesuai dengan tren kadar rata-ratanya. Sehingga hasil penemuan ini dianggap tidak konsisten, jadi harus dievaluasi, kejadian ini disebut "out of tren". 

Jadi, pengkajian mutu produk harus dilakukan tiap tahun dan didokumentasikan, dengan mempertimbangkan hasil kajian ulang sebelumnya dan hendaklah meliputi paling sedikit:
  1. Bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan untuk produk, terutama yang dipasok dari sumber baru.
  2. Pengawasan selama proses yang kritis dan hasil pengujian obat jadi.
  3. Semua bets yang tidak memenuhi spesifikasi yag ditetapkan dan investigasi yang dilakukan.
  4. Kajian terhadap semua penyimpangan atau ketidaksesuaian yang signifikan dan efektivitas hasil tindakan perbaikan dan pencegahan.
  5. Semua perubahan yang dilakukan terhadap proses atau metode analisis.
  6. Variasi yang diajukan, disetujui, ditolak, dari dokumen registrasi yang telah disetujui termasuk dokumen registrasi untuk ekspor.
  7. Hasil program pemantauan stabilitas dan segala tren yang tidak diinginkan.
  8. Keluhan, produk kembalian, dan penarikan obat yang terkait dengan mutu produk termasuk investigasi yang telah dilakukan
  9. Kajian kelayakan terhadap tindakan perbaikan proses produk atau peralatan yang sebelumnya.
  10. Kajian terhadap komitmen pasca pemasaran dilakukan pada obat yang baru mendapatkan persetujuan pendaftaran dan obat dengan persetujuan pendaftaran variasi.
  11. Status kualifikasi peralatan dan sarana yang relevan misal sistem  tata udara, air, gas bertekanan, dan lain-lain.
  12. kesepakatan teknis untuk memastikan selalu up to date.
Selain pemastian mutu, CPOB, dan pengawasan mutu, sekarang juga diminta adanya "Manajemen Risiko Mutu". Hal ini berangkat dari adanya kesadaran bahwa risiko ada di mana-mana. Mulai dari regulasi, produksi, dan sebagainya. Contohnya pada produksi, ada risiko terkontaminasinya parasetamol dengan air sehingga dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis. Jadi, adanya potensi risiko harus dikaji.

Dosen melanjutkan dengan memberikan ilustrasi, mulai dari memberikan perbandingan saat pembuatan tablet di waktu praktikum dengan pembuatan tablet di industri. Jika saat praktikum diajarkan bahwa dalam membuat tablet itu ada tahap ketika harus dihentikan pengadukan ketika bahan sudah dapat dikepal. Bagaimana ketika dibuat di industri dalam skala besar? Bagaimana mengepalnya? Oleh karena itu, di industri bukan itu parameternya, melainkan daya listrik dan putaran mixer-nya. Ketika bahan sudah makin kental, maka daya listrik yang dibutuhkan juga akan makin besar, ketika terjadi perubahan daya listrik ke arah besaran yang ditetapkan, maka tahap tersebut dapat dihentikan dan menunjukkan bahwa bahan siap dilanjutkan ke tahap berikutnya. Mengenai hal ini, dapat terjadi suatu hal yang menyebabkan kurangnya kadar air sehingga berikutnya sulit dikempa atau dicetak, potensi risiko seperti inilah yang harus dikaji, agar ketika mengalami permasalahannya sudah mengetahui apa yang harus dilakukan. Mulai dari menilai faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kurangnya kadar air hingga faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung pembuatan obat yang baik.

Hal ini sama saja apabila dianalogikan dengan bank yang meminjamkan uang kepada peminjam. Bank akan melakukan serangkaian kajian untuk menilai apakah peminjam dapat memberikan jaminan bahwa peminjam tersebut dapat mengembalikan uangnya. Di pabrik obat, perlu dilakukan kajian-kajian, apakah proses yang akan terjadi dapat menjamin dibuatnya obat dengan baik.

Di situlah adanya peran apoteker, yaitu mengawal dan menangani semua hal yang terkait dalam pembuatan obat di pabrik. Supaya benar apoteker dalam mengerjakannya, maka perlu adanya prosedur yang telah dibakukan dan disahkan.

Salah satu persyaratan CPOB adalah tersedianya sarana dan fasilitas, salah satunya berupa bangunan, sarana penunjang, dan peralatan untuk produksi obat. Sebelum membahas ini, ada mahasiswa yang bertanya, "Untuk pabrik yang melakukan toll in apakah harus CPOB juga?" Sebelumnya, dikenalkan dulu dengan istilah "toll in" dan "toll out". Toll in merupakan istilah apabila suatu pabrik menerima proses pembuatan obat dari pabrik lain karena alasan tertentu, sementara toll out merupakan istilah aktivitas pabrik yang memberikan proses pembuatan obatnya tersebut kepada pabrik lain. Jawabannya adalah bahwa keduanya harus CPOB, kata dosen, pabrik yang toll out juga harus diinspeksi, jika tidak memenuhi CPOB maka jangan diterima. Tentunya dalam kegiatan tersebut terdapat kontrak kerja, mengenai ini penjelasannya akan lebih panjang, sehingga tidak terlalu dibahas di kelas.

Obat yang bermutu untuk tetap bisa bermutu sampai konsumen, selama distribusi juga harus baik prosedurnya, jadi ada juga istilah CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik). Jadi kembali lagi, mutu dari suatu produk secara umum, itu bukan suatu hal yang kebetulan, melainkan dibangun, karena produk dapat berkualitas tergantung dari orang yang membuatnya. Dari hal itu, terdapat suatu istilah "Jika  suatu kualitas tidak ada dalam diri orang yang membuatnya, maka seumur hidup juga tidak akan ada kualitas dari produknya".

Selain itu, ada banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas obat seperti temperatur, kebersihan udara, cahaya, aliran udara, kelembapan, tekanan udara di ruangan, kontaminasi partikel, dan kontaminasi mikroba. Mengenai temperatur, temperatur yang tidak sesuai tidak hanya dapat menyebabkan obat rusak, tetapi juga misalnya ketika suhu terlalu tinggi, seseorang yang bekerja di suhu panas akan mengalami peningkatan metabolisme, berkeringat, cepat lelah, kemudian kesalahan dapat terjadi.

Mengenai kebersihan udara, secara pengamatan visual bisa saja mengatakan bahwa udaranya bersih,  tetapi secara mikroskopis belum tentu, masih bisa ada partikel-partikel debu bahkan mikroba yang dapat mengkontaminasi obat sehingga dapat mempengaruhi kualitasnya juga. Oleh karena itulah, di pabrik terdapat aliran udara, sebagai cara untuk menjaga udara agar bersih.

Ketika membangun pabrik, juga ada yang harus diperhatikan, seperti iklim, tetangga, pengawasan terhadap limbah, listrik, air, mudah dibersihkan, dan sanitasi.
  1. Iklim, terkait dengan letak geografis.
  2. Tetangga, yaitu pabrik yang dibangun berdekatan. Harus diketahui, jenis pabrik seperti apa tetangga tersebut, apakah pabrik kimia, makanan, dan lainnya, serta seperti apa tata udaranya. Kaitannya dengan ada atau tidaknya pengaruh aktivitas pabrik tersebut terhadap pabrik yang dibangun ini.
  3. Pengawasan terhadap limbah, tidak hanya limbah cair, tapi kebisingan juga perlu dipertimbangkan, misalnya terdapat pabrik las dalam skala besar, kebisingan dapat mempengaruhi ketenangan dan konsentrasi pekerja yang membuat obat.
  4. Bangunan juga harus mudah dibersihkan. Karena pembuatan obat juga diburu waktu atau pemanfaatan waktu dengan efektif, setiap bagian bangunan harus mudah dibersihkan, agar tidak membuang-buang waktu hanya untuk membersihkan bagian itu saja. Oleh karena itulah, pabrik dibangun dengan kriteria khusus, misalnya dindingnya tidak boleh bersudut, dan lainnya, agar mudah dibersihkan. Lantainya juga tidak boleh keramik, dan seterusnya.
  5.  Sanitasi, terkait dengan saluran, perlu untuk dihindari masuknya hewan  ke dalam pabrik. Kalaupun ada hewan yang tidak diinginkan dapat masuk, perlu dianalisis bagaimana bisa hewan tersebut masuk, supaya berikutnya dapat dicegah. Satu nyamuk pun yang dapat masuk pada ruang produksi, dapat menggegerkan seisi pabrik.
Dalam merancang bangunan ada prinsipnya, misalnya ada yang berwarna merah artinya harus dipisah seperti beta laktam, hormon seks, sitotastik, dan lainnya. Sementara yang berwarna hijau dapat berada dalam satu gedung tapi terpisah ruangannya, misalnya dipisah dalam beda lantai, misal lantai 1 asam mefenamat, lantai 2 parasetamol. Yang berwarna merah itu, tidak hanya beda gedungnya, tapi seluruh sistem termasuk lisrik, air, tata udara juga harus terpisah.

Alur proses, material, dan personalia juga harus jelas, di dalam pabrik harus ada penandaan area menerma barang, area penimbangan, pengolahan, serta ruagan khusus. Untuk area granulasi karena bisa menghasilkan banyak debu, maka harus dipisah areanya.

Pada daerah produksi dan pengemasan ada beberapa hal yang peru diperhatikan. Setelah granulasi kering, ruangan tersebut tidak boleh ada pipa-pipa, dikhawatirkan akan ada partikel-partikel akibat proses granulasi kering yang menempel pada pipa-pipa dan susah dibersihkan. Oleh karena itu dalam hal ini, sebenarnya ada pembagian daerah pada pabrik yaitu menjadi kelas A-G, di mana perbedaannya pada jumlah partikel yang diperbolehkan ada, jadi beda kelas, beda jumlah partikel yang diperbolehkan adanya.

Pembagian kelas juga didasarkan atas perbedaan risiko terapetiknya. Kelas untuk risiko terapetik paling tinggi adalah kelas A, sementara kelas yang paling tidak berisiko terapetik adalah kelas G. Untuk obat nonsteril sebenarnya tidak pernah ditetapkan, hanya ada kelas A, B, C, D saja. Namun, di Indonesia dimodifikasi dengan adanya penambahan kelas E, F, dan G sehingga masalah standar untuk obat nonsteril dapat diatasi.

Mengenai debu atau partikel, mutlak untuk dipenuhi batasan jumlahnya pada tiap kelas. Sebelum mengetahui masing-masing jumlah partikel dari tiap kelas, ada baiknya untuk mengetahui macam-macam debu atau partikel, yaitu:
  1. Coarse dust: 50 sampai 500 mikrometer.
  2. Fine dust: 1 sampai 50 mikrometer.
  3. Ultra fine dust: kurng dari 0,5 sampai 1 mikrometer.
  4. Partikel: kurang dari 0,05 mikrometer.
Di bawah ini adalah persyaratan dari tiap kelasnya.



Untuk mencapai syarat dari kelas A, digunakan UDAF (Uni Directional Air Flow). Dalam kelas-kelas ini jadi ada syaratnya, dalam 1 meter kubik, berapa jumlah partikel yang diperbolehkan. Contohnya pada kelas A yang diperbolehkan pda saat istirahat atau tidak sedang proses produksi, jumlah partikl ukuran 0,5 mikrometer yang diperbolehkan adalah 3.520, dan seterusnya. Dalam hal ini, ada alat yang dapat menghitung jumlah partikel, yaitu particle counter, alat ini dapat menghisap udara 1 meter kubik, lalu menghitung jumlah partikelnya.

Kelas E digunakan untuk pencampuran bahan, kelas F unuk pengemasan sekunder. Di kelas F tidak ditentukan jumlah partikelnya, karena alatnya bisa rusak saking banyaknya jumlah partikel. Particle counter juga harganya mahal, jadi amat disayangkan jika rusak. 

Pada kelas A, B, C, dan D, tidak hanya ada syarat jumlah partikel yang diperbolehkan saja, tetapi juga ada syarat jumlah mikrobanya, yaitu:


Ada banyak macam alat penghitung jumlah mikroba, antara lain MAS, SAS, dan RES. Prinsipnya sama dengan alat penghitung partikel, yaitu udara dihisap lalu dilewatkan pada cawan petri, setelah jumlah udara cukup, diambil cawan petri, lalu diinkubasi untuk menumbuhkan mikroba.

Mengenai kelas-kelas macam ini, ISO telah mengeluarkannya dengan jumlah kelas lebih banyak. Kelas A sampai G merupakan kelas-kelas yang ada pada CPOB, sementara di industri lainnya, ISO telah menetapkan kelasnya, seperti pada ISO 1, diperuntukkan untuk industri satelit yang mana sama sekali tidak boleh ada debu, jadi untuk partikel dengan ukuran 0,5 mikrometer, sama sekali tidak boleh ada. Ini menunjukkan adanya kelas yang lebih ketat terkait jumlah partikelnya dibandingkan dengan kelas A. Berdasarkan ISO, kelas A dan B masuk ke kelas ISO 5, kelas C masuk ke kelas ISO 7, dan kelas D ke ISO 8.

Mengenai ini, ada juga suatu sistem yang disebut dengan HVAC (Heating, Ventilation, and Air Conditioning). Fungsinya adalah menjaga udara di sekitar. Salah satu komponen tersebut adalah primary filter. Primary filter bentuknya seperti kantong pada vacuum cleaner. 

Demikian yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung :D

Tuesday, September 22, 2015

Catatan Undang-Undang dan Etika Farmasi #2

 

Pada pertemuan kedua ini yang dibahas adalah mengenai profesi, pekerjaan/praktik kefarmasian, pedoman disiplin, kode etik, dan peningkatan profesionalitas. Ada banyak penjelasan yang diberikan oleh Pak Fauzi di luar slide yang ditampilkan. Pertama-tama Pak Fauzi memulai dengan berbagai pertanyaan, apa bedanya sarjana farmasi dengan apoteker? Apa bedanya profesi, profesional, dan profesionalisme? Sertifikat/surat apa saja yang diperoleh lulusan program profesi apoteker?  Sebagian besar yang saya tulis di sini adalah materi Pak Fauzi yang ada di power-pointnya, disertai dengan penjelasan yang saya dengarkan di kelas, serta tambahan-tambahan lainnya yang saya peroleh dari berbagai sumber.

Mengenai beda sarjana farmasi dan apoteker, dengan jelas disebutkan pada PP 51 Tahun 2009 bahwa sarjana farmasi adalah bagian dari tenaga teknis kefarmasian (Pasal 1 ayat 6), sementara apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (pasal 1 ayat 7). Lebih lengkap dijelaskan pada pasal 1 ayat 6 bahwa "Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga mengenah farmasi/asisten apoteker. Dengan demikian, pekerjaan sarjana farmasi setingkat dengan asisten apoteker yang mana seorang lulusan D3 farmasi, atau bahkan lulusan SMK farmasi saja juga bisa mendapatkan pekerjaan yang sama yaitu sebagai tenaga teknis kefarmasian. Oleh karena itu, agar ilmu farmasi yang didapat selama 4 tahun oleh sarjana farmasi tidak sia-sia jatuh pada pekerjaan yang sama dengan lulusan SMK farmasi, akan sangat dianjurkan untuk melanjutkan studi program profesi apoteker yang tentunya pekerjaannya setingkat lebih tinggi dibanding hanya sebagai tenaga teknis kefarmasian. Sebagai gambaran saja, lebih lanjut pada peraturan yang sama, di pasal 9 ayat 1 ditetapkan bahwa hanya seorang apoteker saja yang dapat dijadikan sebagai penanggung jawab pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu di industri farmasi, artinya hanya apoteker, tidak bisa tenaga teknis kefarmasian. 
"Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi sediaan farmasi" - Pasal 9 ayat 1
Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara sarjana farmasi dan apoteker. 

Mengenai perbedaan profesi, profesional, dan profesionalisme, saya peroleh dari perbedaan definisinya berdasarakan KBBI. Profesi merupakan kata benda, yaitu suatu bidang pekerjaan yang dilandasi dengan pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Profesional merupakan kata sifat, yaitu (1) bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (3) mengharuskan adanay pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir). Sementara profesionalisme merupakan kata benda, yaitu mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. 

Terdapat 3 macam sertifikat/surat yang harus dimiliki oleh seorang apoteker berdasarkan PP 51 tahun 2009, yaitu sertifikat kompetensi, STRA, dan SIPA/SIK. Sertifikat kompetensi dapat diperoleh bagi apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, sertifikat dapat diperoleh secara langsung setelah melakukan registrasi. STRA merupakan singkatan dari Surat Tanda Registrasi Apoteker yang diberikan oleh menteri kepada apoteker yang telah diregistrasi. Untuk memperoleh STRA apoteker harus memenuhi persyaratan yaitu memiliki ijazah apoteker, memiliki sertifikat kompetensi profesi, mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji apoteker, mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik, dan membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Sementara SIPA/SIK merupakan dua surat yang berbeda  tergantung dari bidang pekerjaan kefarmasiannya, untuk apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, puskesmas atau pusat instalasi farmasi rumah sakit maka surat yang dimiliki adalah SIPA (Surat Izin Praktik Apoteker). Sementara untuk SIK (Surat Izin Kerja) merupakan sertifikat yang dimiliki oleh apoteker yang bekerja di luar itu, misalnya di industri farmasi. Dua surat itu dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan, pedoman pemberian surat izin tersebut telah ditetapkan oleh menteri. 

Berdasarkan ciri atau pondasinya profesi apoteker, dapat dipahami kembali bedanya profesi apoteker dengan sarjana farmasi. Ciri atau pondasi profesi apoteker terdiri dari 3 macam, yaitu science, education, dan practice. Pembeda utamanya adalah practice. Sekalipun pada sarjana farmasi telah dilakukan berbagai macam praktikum untuk meningkatkan pemahaman terkait teori yang diperoleh, itu bukanlah definisi practice yang dimaksud dalam ciri profesi apoteker ini, melainkan yang dimaksud practice dalam hal ini adalah telah melakukan semacam magang atau praktik kerja langsung pada bidang yang terkait baik di apotek, puskesmas, instalasi farmasi, maupun industri, jadi bukan hanya praktikum di laboratorium, bukan praktik kaitannya dengan pengaplikasian teori, melainkan praktik kerja. Dengan demikian, jelaslah mahasiswa lulusan program profesi apoteker lebih siap bekerja sebagai apoteker seutuhnya. 

Terkait dengan profesi apoteker terdapat beberapa peraturan yang terkait, antara lain:
  1. UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan;
  2. UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan;
  3. PP No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian;
  4. PMK No. 889 Tahun 2011 tentang registrasi, izin praktik, dan izin kerja tenaga kefarmasian;
  5. PMK No. 30 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di puskesmas;
  6. PMK No. 35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek;
  7. PMK No. 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rusah sakit;
  8. CPOB dan CDOB.

Pada UU No. 36 Tahun 2009, dijelaskan pada pasal 23 bahwa tenaga kesehatan berwenang dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, lalu dijelaskan lebih lanjut pada pasal 24 bahwa tenaga kesehatan yang dimaksud harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Adanya aturan ini, menegaskan bahwa apoteker harus memenuhi standar profesi dalam melakukan pekerjaan kefarmasian. 

Pada UU No. 36 Tahun 2014, dijelaskan mengenai tenaga kesehatan pada umumnya, mengenai bagaimana tenaga kesehatan dapat bekerja sesuai dengan profesinya, yaitu harus memiliki kompetensi yang dinilai melalui uji kompetensi, pada akhirnya akan memperoleh sertifikat kompetensi, lalu sertifikat profesi, kemudian perlu melakukan registrasi sehingga diperoleh surat tanda registrasi, bagaimana memperoleh SIP, bagaimana pedoman standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan lain sebagainya yang terkait. 

Pada PP No. 51 Tahun 2009, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, menerangkan mengenai sertifikat/surat apa saja, bagaimana cara memperolehnya, agar apoteker dapat melakukan pekerjaan kefarmasian, yaitu kaitannya dengan sertifikat kompetensi, STRA, SIPA/SIK. Jadi peraturan ini lebih spesifik khusus untuk profesi apoteker, sementara pada aturan sebelumnya, masih secara umum terhadap tenaga kesehatan. 

Pada profesi apoteker, dapat dirangkum bahwa seorang apoteker harus memiliki 3 komponen terkait standar profesi, yaitu etika, disiplin, dan hukum. Dari sisi etika, tiap profesi memiliki kode etik termasuk apoteker, memiliki kode etik apoteker, kode etik dijadikan sebagai pedoman bagaimana seorang apoteker bersikap baik terhadap diri sendiri, teman sejawat, maupun terhadap tenaga kesehatan lainnya. Etika mempelajari soal baik dan buruk, biasanya kode etik tersebut dibuat oleh organisasi profesi yang dimaksud. Sementara disiplin merupakan komponen standar profesi tidak hanya dibuat oleh organisasi profesi yang dimaksud tetapi juga melibatkan organisasi profesi lainnya. Disiplin ditujukan agar tiap tenaga kesehatan dapat berperan dengan baik sesuai dengan perannya dan dalam interaksinya dengan tenaga kesehatan lainnya. Disiplin ini terbagi lagi menjadi 3 komponen yaitu kesehatan, kompetensi, dan komunikasi. Komponen kesehatan mengatur misalnya mengenai batas usia maksimal, kriteria layak fisik-mental, kepribadian, dan aturan bebas NAPZA. Komponen kompetensi misalnya terkait system-based practice. Komponen komunikasi misalnya terkait sikap akuntabel dan saling menghormati. Jadi, apoteker sesuai dengan disiplin, harus sehat, harus memiliki kompetensi berdasarkan ilmunya, dan mampu berkomunikasi baik kepada tenaga kesehatan lain, maupun terhadap pasien. Sementara dari sisi hukum, apoteker diminta untuk memiliki sertifikat/surat izin dalam melakukan pekerjaan kefarmasiannya. (Jujur, mengenai penjelasan komponen standar profesi ini, dalam paragraf ini, saya juga bingung bagaimana penjelasannya, lain waktu saya akan berusaha untuk mencari sumber lain yang dapat menjelaskan terkait dengan hal ini. Apa yang saya tuliskan di sini, adalah apa yang tertulis pada slide Pak Fauzi dan yang beliau jelaskan ketika di kelas).

Apabila terdapat apoteker yang tidak mematuhi atau melanggar kode etik apoteker, maka yang dapat mengadilinya adalah organisasi yang membuat kode etik tersebut, dalam hal ini IAI (Ikatan Apoteker Indonesia). Apabila terdapat apoteker yang mengalami konflik dengan tenaga kesehatan lain, terkait dengan aturan disiplin, maka yang mengadili adalah MDTK (Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan). Sementara apabila apoteker melanggar aturan hukum, maka apoteker akan diadili di pengadilan negeri (PN) baik urusan pidana maupun perdata.

Seven stars pharmacy plus, menjelaskan peran-peran apa saja yang melekat pada apoteker. Mengenai kata "peran" secara umum, artinya terdapat suatu kegiatam yang berhubungan dengan orang lain. Peran apoteker tersebut antara lain:
  1. Care giver, apoteker berperan dalam asuhan kefarmasian baik di apotek, puskesmas, rumah sakit, maupun industri.
  2. Teacher, apoteker juga berperan dalam mendidik.
  3. Life long learner, apoteker harus selalu meningkatkan pengetahuannya seumur hidup, demi peningkatan kualitas kesehatan pasien.
  4. Manager, apoteker berperan dalam mengelola sumber daya, tidak hanya sumber daya manusia, tetapi juga sumber daya lainnya.
  5. Leader, apoteker berperan sebagai pemimpin yang memimpin sumber daya manusianya. Bedanya dengan manager, dalam hal leader, apoteker hanya memimpin sumber daya manusianya saja. 
  6. Communicator, apoteker harus dapat berkomunikasi dengan pasien maupun tenaga kesehatan lainnya.
  7. Researcher, apoteker harus selalu melakukan penelitian untuk menambah pengetahuan.
  8. Decision maker, apoteker yang berperan dalam membuat keputusan, misalnya menentukan obat mana yang sesuai untuk pasien (meskipun dokter telah membuatkan resep, apoteker harus mampu menganalisis obat-obat yang diresepkan oleh dokter, dalam rangka kerasionalan peresepan obat).

Apoteker harus memiliki 9 macam kompetensi, antara lain:
  1. Mampu melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan etik (menguasai kode etik yang berlaku dalam praktik profesi, mampu menerapkan praktik kefarmasian secara legal dan profesional sesuai kode etik apoteker Indonesia, dan seterusnya).
  2. Mampu menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan sediaan farmasi.
  3. Mampu melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan.
  4. Mampu memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai standar yang berlaku.
  5. Mempunyai ketrampilan dalam pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan.
  6. Mampu berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat.
  7. Mampu mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan standar yang berlaku.
  8. Mempunyai ketrampilan organisasi dan mampu membangun hubungan interpersonal dalam melakukan praktik kefarmasian.
  9. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan kefarmasian.
Pada catatan saya yang sebelumnya, telah diberikan definisi dari praktik atau pekerjaan kefarmasian (dapat dilihat di sini). Secara garis besar, pekerjaan kefarmasian meliputi pengadaan, pembuatan/produksi, distribusi, dan pelayanan. Keseluruhan tahapan tersebut terdapat legilasi, regulasi, dan kebijakan yang mengupayakan agar dapat menjaga mutu dari perbekalan farmasi, mulai dari proses pengadaan hingga penggunaannya. Adanya pelayanan kefarmasian yang bermutu, yaitu meliputi tersedianya perbekalan farmasi, adanya sumber daya manusia yang profesional, serta tepatnya informasi, maka akan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 

Penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian, telah dimuat dengan jelas pada PP 51 Tahun 2009, meliputi pelaksaan pekerjaan kefarmasian, produksi, penyaluran, pelayanan, rahasia kedokteran, rahasia kefarmasian, kendali mutu dan kendali biaya, standar-standar, audit, pemberdayaan, dan izin. 

Dalam hal ini terdapat berbagai aturan yang mengatur pelaksanaan pekerjaan kefarmasian, yaitu:
  1. Perpres No. 54 Tahun 2010 Jo 70 Tahun 2012 tentang pengadaan sektor pemerintah;
  2. PMK No. 1799 Tahun 2010 Jo 16 Tahun 2013 tentang industri farmasi (obat);
  3. PMK No. 006 Tahun 2012 tentang industri dan usaha obat tradisional;
  4. PMK No. 1175 Tahun 2010 tentang izin produksi kosmetika;
  5. PMK No. 1189 Tahun 2010 tentang produksi alat kesehatan dana perbekalan kesehatan rumah tangga;
  6. PMK No. 148 Tahun 2011 tentang pedagang besar farmasi;
  7. PMK No. 1191 Tahun 2010 tentang penyaluran alat kesehatan;
  8. PMK No. 922 Tahun 1993 Jo KMK N0.  1332 Tahun 2002 tentang perizinan apotek;
  9. KMK No. 1331 Tahun 2002 Jo PMK No. 167 Tahun 1972 tentang pedagang eceran obat;
  10. PMK No. 12 Tahun 2012 tentang standar akreditasi rumah sakit;
  11. PMK No. 56 Tahun 2014 tentang perizinan rumah sakit;
  12. PMK No. 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit;
  13. PMK No. 30 Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi di puskesmas;
  14. PMK No. 35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan farmasi di apotek.
Selanjutnya akan dibahas mengenai pedoman disiplin dan kode etik apoteker. Dalam hal ini, terdapat alasan kenapa diperlukan adanya pedoman disiplin dan kode etik apoteker, yaitu karena peraturan perudang-undangan yang ada masih belum mengatur semuanya. Sementara apoteker sebagai suatu profesi dituntut untuk adil, jujur, dan berbudi luhur. Berangkat dari hal itulah persatuan profesi membuat suatu pedoman disiplin dan kode etik. Adanya pedoman ini, akan mempengaruh mutu pelayanan dan pertanggung jawaban profesi terhadap masyarakat. Secara umum, adanya pedoman disiplin dan kode etik apoteker ini, bertujuan untuk:
  1. Menjunjung tinggi martabat profesi.
  2. Menjaga dan memelihara kesejahteraan anggota. 
  3. Meningkatkan pengabdian anggota.
  4. Meningkatkan mutu profesi.
  5. Meningkatkan layanan pada pengguna jasa.
  6. Untuk menentukan standar sendiri.
Sementara fungsinya antara lain:
  1. Sebagai bentuk kewibaan profesi, yang mana substansi etis makin mantap dan prosedurnya makin kredibel.
  2. Sebagai paramater normatif, yang dijadikan sebagai tolok ukur perlindungan etis pasien/klien.
  3. Sebagai self regulating, atau self disciplining, untuk akuntabilitas profesi sehingga berani memanggil, menyidangkan, dan menjatuhkan sanksi.
  4. Sebagai "map" dalam berpraktik profesi, terutama bagi yang baru lulus.
  5. Sebagai pedoman setiap anggota dalam menjalankan profesinya.
  6. Sebagai sarana kontrol bagi masyarakat atas pelaksanaan profesi tersebut.
  7. Sebagai pencegahan campur tangan pihak luar organisasi tentang hubungan etika/disiplin dan keanggotaan profesi.
Prinsip yang dipakai antara lain:
  1. Bersikap objektif pada saat adanya kebebasan memilih atau memutuskan, karena apoteker tahu pilihan yang terbaik.
  2. Selalu memenuhi hak klien untuk memperoleh pemahaman yang baik terhadap keterangan tentang manfaat dan risiko yang mungkin timbul dalam pelayanan yang dilakukan sesuai kompetensi apoteker.
  3. Selalu melakukan penilaian yang adil dan etis untuk menjaga rahasia kefarmasian terkait praktik maupun klien.
  4. Apoteker selalu berusaha untuk berbuat yang terbaik dan sekaligus berusaha menghindari adanya peluang kesalahan.
  5. Setiap saat loyal, tidak membedakan, adil dan bersahabat terhadap klien.
  6. Selalu memenuhi hak klien untuk dihargai atau dipenuhi kebutuhannya.
Disiplin merupakan kepatuhan terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapa keilmuan sebagai apoteker melalui pelaksanaan apoteker sesuai dengan standar kompetensi dan pedoman praktik apoteker, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab profesional dengan baik, serta berperilaku untuk menjaga martabat dan kehormatan apoteker. Sementara dalam hal ini, pedoman disiplin apoteker meliputi aturan mengenai kesehatan (sehat fisik dan jiwa), kompetensi (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap), dan komunikasi.

Kode etik apoteker Indonesia berisi kewajiban serta larangan-larangan terhadap diri sendiri, teman sejawat, penerima jasa, dan tenaga kesehatan lainnya.

Apoteker yang profesional dan beretika, memiliki paradigma positif dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian, sangat penting adanya akuntabilitas yang mana pengambilan keputusan didasarkan ataas data (evidence based). Apoteker harus memiliki kompetensi yang teraudit. Oleh karena itulah, harus selalu ada peningkatan profesionalisme yang berkelanjutan (CPD + PI).

Apoteker harus profesional karena apoteker amat dibutuhkan baik oleh pemerintah, dokter, pasien, investor, payer, maupun LSM. Pemerintah membutuhkan apoteker agar apoteker dapat membantu pemerintah dalam mengawasi dan mengendalikan pendistribusian atau penggunaan obat di masyarakat. Dokter membutuhkan apoteker agar dapat menghormati hak profesi dan saling memberi informasi. Pasien membutuhkan apoteker agar dapat memperoleh pelayanan kefarmasian yang optimal. Investor membutuhkan apoteker untuk dapat melaksanakan fungsi komersil dan fungsi sosial yang berkelanjutan. Payer membutuhkan apoteker dalam pelayanan terstandar, efektif, dan efisien. Sementara LSM membutuhkan apoteker dalam memberikan pelayanan  sesuai dengan hak-hak konsumen.

Oleh karena itu, kembali lagi diingatkan bahwa apoteker harus selalu meningkatkan profesionalismenya atau melakukan reprofesionalisasi untuk masa depan. Apabila terus dilakukan reprofesionalisasi maka hubungan dengan tenaga kesehatan lainnya akan meningkat, fungsi kognitif mengenai MESO, TDM, dan sebagainya meningkat,  fungsi informatif juga meningkat.

Reprofesionalisasi dapat dilakukan dengan selalu mengikuti pendidikan berkelanjutan serta meng"update" diri terhadap sumber informasi, misalnya dengan berlangganan jurnal-jurnal ilmiah. Dengan cara menyusun SOP di berbagai bidang/sarana pekerjaan kefarmasian, menggunakan teknologi dan informasi serta membangun sistem informasi manajemen dan sistem informasi pelayanan/produk. Lalu dengan cara mengidentifikasi kebutuhan masyarakat/pelanggan untuk menyesuaikan dengan produk dan jasa yang akan disediakan, serta mempertegas dan membedakan kegiatan fungsi distribusi dan fungsi pelayanan kefarmasian di sarana pelayanan kefarmasian.

Kompetensi apoteker harus selalu dipelihara sebagaimana aturan dalam PP 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa sertifikat kompetensi, STRA, dan SIPA/SIK hanya berlaku 5 tahun. Selama 5 tahun itu apoteker harus dapat mengisi dirinya melalui CPD (Continous Professional Development) dan PI (Practice Improvement).  Proses sertifikasi berkelanjutan dapat dilakukan dengan melakukan akreditasi diri di awal, menyusun rencana, mengembangkan praktik kefarmasian, melaksanakan dan mendokumentasikan praktik kefarmasian, dan akreditasi dan sertifikasi lanjutan.

Akreditasi diri adalah sebuah proses yang sistematis dalam mengumpulkan bukti-bukti kemudian membandingkan bukti-bukti tersebut dengan standar kompetensi dan membuat keputusan apakah telah mencapai kompetensi.

Demikian yang  dapat saya tuliskan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung ^^