Sunday, September 27, 2015

Catatan Rancangan dan Pengembangan Formula #2

Sumber Gambar: pinterest.com

Kembali mata kuliah ini diajari oleh Pak Sutriyo. Dipelajari mengenai pertimbangan biofarmasetika dalam merancang produk obat. Beliau bertanya, "Apa itu biofarmasetik? Bagaimana obat atau zat aktif diabsorpsi? Untuk apa sediaan farmasi dibuat? Fungsinya?" Biofarmasetik merupakan illmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Obat dapat diabsorbsi karena memang dari sifat fisikokimianya mudah diabsorpsi atau obat itu dirancang sedemikian rupa dalam suatu sediaan farmasi yang pada akhirnya dapat diabsorpsi. Oleh karena itulah, sediaan farmasi dibuat agar dapat menghantarkan obat. 

Dalam absorpsi obat, terdapat rate limiting step atau tahap penentu dalam absorpsi obat yaitu kelarutan dan permeabilitas. Mengenai ini ada yang disebut dengan biopharmaceutical classifical system (BCS) yang membagi kelompok obat menjadi beberapa kelas. 


Kelas I merupakan obat yang paling mudah diformulasi, tidak memiliki masalah, karena memiliki kelarutan dan permeabilitas yang baik. Kelas II merupakan obat yang paling umum, yaitu sebagian besar obat memiliki permeabilitas yang  baik namun kelarutannya buruk. Jadi untuk obat yang seperti ini perlu ditingkatkan kelarutannya baik dengan modifikasi fisika misalnya pengadukan, maupun modifikasi kimia seperti pembentukkan garam, pembentukkan senyawa lain, atau pembentukkan dispersi padat. Kelas III merupakan kelas yang memiliki kelarutan yang baik, namun permeabilitasnya buruk. Modifikasi yang bisa dilakukan adalah terkait dengan koefisien partisinya. Nilai log P yang dimodifikasi. Sementara kelas IV merupakan obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang buruk. Dengan demikian, salah satu yang harus diperhatikan dalam formulasi obat adalah mengenal obat berdasarkan BCS ini.

Selain sifat fisikokimia, yang mempengaruhi bioavailabilitas obat adalah formulasinya dari segi faktor farmasetik. Terkait dengan bioavailabilitas, untuk sediaan padat, tablet yang paling banyak memiliki masalah, apalagi tablet yang disalut. Tahapan yang dilalui dalam tubuh lebih panjang dibandingkan dengan kapsul, granul, serbuk, dan sebagainya. Di faktor farmasetik, bahan tambahan ada yang bisa mempengaruhi bioavailabilitas, konteksnya pada pelepasan biasa, yaitu lubrikan. Lubrikan dalam jumlah banyak dapat menghambat proses disolusi. Jadi, terkait formulasi, tidak hanya dilihat kompatibel atau tidaknya saja, tetapi juga bagaimana interaksinya dalam tubuh.

Di pertemuan ini, dibahas lagi mengenai studi praformulasi yang melihat bahan obat dari segi makroskopis. Dilihat bahannya, apakah serbuk atau kristal. Kalau kristal, lihat penampakkan luarnya, apakah bentuknya kubus, prisma, atau flat. Hubungannya bentuk ini terhadap flowabilitas dan kompleksibilitasnya, jadi hal ini mempengaruhi prosedur pembuatannya. Lalu dilihat, ada atau tidaknya polimorfisme, contohnya obat yang punya polimorfisme adalah TiO2, obat ini punya 3 bentuk. Pengaruh polimorfisme itu terkait dengan stabilitasnya. Contoh lain kloramfenikol, polimorfismenya mempengaruhi kelarutannya.

Dibahas juga mengenai hubungan pH dengan bioavailabilitas obat, kaitannya dengan pKa obat. Obat kalau tidak bersifat asam lemah, pasti basa lemah. Obat yang  mudah diabsorpsi adalah yang dalam bentuk molekul. Dalam hal inilah, pKa dari obat berperan. Contohnya pada lambung yang bersifat asam, obat yang asam lemah, berdasarkan pKa-nya akan berada dalam bentuk molekul sehingga mudah diabsorpsi, sementara obat basa lemah, berdasarkan pKa-nya akan terionisasi sehingga berada dalam bentuk ion dan agak sulit diabsorpsi. 

Stabilitas juga menentukan bioavailabilitas. Salah satunya stabilitas obat terhadap first effect metabolism, terhadap fotolisis, terhadap hidrolisis, terhadap oksidasi, dan lainnya. Obat dalam bentuk senyawa ester akan rentan terhadap hidrolisis. Antibiotik golongan  beta laktam juga rentan terhadap hidrolisis, serta senyawa-senyawa yang memiliki gugus tiol, sulfonamida, lakton, dan alifatik terhalogenasi. Lalu bagaimana mengatasi agar tetap stabil? Obat-obat yang rentan terhadap hidrolisis, dalam pembuatannya harus dicegah agar tidak dapat berkontak dengan air. Bagaimana jika sediaannya liquid? Dapat diatasi dengan pengaturan pH. Obat yang rentan teroksidasi, dihindari dari zat-zat yang dapat mengoksidasi seperti oksigen, misal dapat pembuatannya dialiri gas nitrogen.

Selanjutnya, dalam formulasi harus pula dapat mengidentifikasi permasalahan terkait zat aktif dalam bentuk sediaan. Misalnya dibuat emulsi, apa saja permasalahan yang dapat terjadi? Pemisahan fase misalnya. Diingat lagi mengenai hukum termodinamika, kondisi stabil dapat dicapai ketika energi bebasnya kecil, sehingga perlu dibuat suatu sistem yang ketidakstabilannya minimal. Kalau suspensi bentuk ketidakstabilannya caking. Kalau gel bentuk ketidakstabilannya sineresis, yaitu gel tidak mampu menyerap air di dalamnya.

Kalau di biofarmasetik, yang dipermasalahkan bukan soal sediaannya, tetapi bagaimana bioavailabilitasnya. Jadi, pada registrasi obat, diperlukan uji BA/BE, untuk mengetahui apakah zat aktif tersebut dapat mencapai kondisi yang diinginkan.

Sekian yang saya catat. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung ^^

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)