Wednesday, September 09, 2015

Catatan Farmakoterapi #1

Sumber Gambar: uteledo.edu

Pertemuan pertama diajarkan oleh Bu Azizah. Beliau langsung bertanya, "Apa bedanya farmakologi dn farmakoterapi?" Seperti biasa semua diam. Lalu, ibunya tidak mau menjelaskan dan meminta kami untuk mencari sendiri. Setelah pencarian yang singkat, saya menemukan pengertian dari farmakologi dan farmakoterapi serta hubungannya. Farmakologi berasal dari dua kata, yaitu "pharmacon" artinya obat dan "logos" artinya ilmu, jadi farmakologi adalah ilmu tentang obat. Sementara farmakoterapi adalah cabangnya ilmu farmakologi, yang mempelajari penggunaan obat untuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Jadi, farmakologi merupakan ilmu yang lebih luas dari farmakoterapi dan yang dipelajari pada kelas ini lebih spesifik kepada farmakoterapi. Sebagian besar yang saya tuliskan di sini adalah materi yang ada di power-point dosen disertai dengan penjelasan yang saya dapatkan ketika diajarkan di kelas.

Kemudian beliau juga bertanya, "Apa peran apoteker dalam terapi, apa pula bedanya dengan dokter?" Ada yang menjawab jika dokter itu berperan mulai dari anamnesis, diagnosis, penentuan rencana terapi hingga pemilihan obat (jika perlu), apoteker hanya berperan pada pemilihan obat." Tetapi menurut beliau jawabannya kurang tepat, "Siapa bilang apoteker tidak berperan dalam anamnesis dan diagnosis? Sesungguhnya bukan itu, tetapi kedua istilah tersebut lebih tepat disebut dengan penggalian informasi". Jadi apoteker dalam terapi berperan dalam penggalian informasi, penentuan rencana terapi, dan juga pemilihan obat serta tahap selanjutnya mulai dari memberikan obat, memberikan informasi obat, dan melakukan evaluasi.

Seorang dokter dapat menentukan rencana terapi tanpa obat jika memang tidak diperlukan penggunaan obat. Tetapi jika diperlukan aka akan ada indikasi pemakaian obat, yaitu suatu indiksi medis di mana intervensi dengan obat (farmakoterapi) memang diperlukan dan telah terbukti bermanfaat terapetik. Selanjutnya jika memang  diperlukan, perlu adanya pemilihan obat yang sesuai. Ada berbagai pertimbangan dalam memilih obat, antara lain:
  1. Manfaat (efikasi), artinya obat tersebut telah teruji memiliki aktivitas farmakologik dan dapat bermanfaat dalam pengobatan.
  2. Keamanan, artinya aman digunakan, efek samping yang mungkin timbul tidak terlalu berbahaya dan banyak.
  3. Harga, dapat dijangkau oleh masyarakat.
  4. Kesesuaian, sesuai dengan pelayanan yang ada.
Terdapat enam langkah dalam proses terapi, yaitu:
  1. Menentukan masalah pasien.
  2. Menentukan tujuan pengobatan.
  3. Memilih terapi yang paling sesuai untuk pasien.
  4. Memberikan pengobatan.
  5. Memberikan informasi, instruksi, dan peringatan.
  6. Mengevaluasi pengobatan.
Pemilihan jenis obat didasarkan atas kemanfaatan dan keamanan obat yang sudah terbukti dari hasil penelitian. Jika masih empiris, perlu diragukan kemanfaatan dan keamanannya. Kemudian dipilih yang risiko pengobatan paling kecil imbang dengan manfaatnya, misalnya ada dua obat, keduanya digunakan untuk obat maag. Obat A dapat memunculkan 3 macam ESO (efek samping obat), sementara obat B hanya 1, jadi dipiih yang paling kecil risikonya dengan manfaat yang imbang, yaitu obat B. Obat juga  dipilih atas dasar biaya obat yang paling sesuai, misalnya terdapat pasien yang kurang mampu, menderita diabetes, harus rutin meminum metformin, di apotek tersedia dua macam metformin, yaitu dengan jenis generik dan bermerk dagang. Yang generik harganya lebih murah karena telah disubsidi pemerintah, sementara yang merk dagang lebih mahal, tentunya yang sesuai untuk pasien tersebut adalah yang generik, dan tidak perlu khawatir, kedua jenis obat itu sama isinya. Obat yang dipilih juga adalah obat yang paling mudah didapat tentunya dan sedikit mungkin memberikan jumlah jenis obat, karena jika terlalu banyak dapat menimbulkan reaksi obat yang tidak dikehendaki akibat adanya interaksi obat.

Setelah dilakukan pemilihan obat, seperti yang dijelaskan sebelumnya, pasien perlu diinformasikan terkait obat, utamany tentang cara pemakaian. Untuk memberikan informasi ini, perlu adanya pertimbangan farmakokinetik. Farmakokinetik adalah nasib obat dalam tubuh mulai dari absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E)) serta kaitannya dengan respon farmakologi terapi dan toksikologi. Apabila telah mengetahui farmakokinetik dari suatu obat, akan diketahui waktu paruh dari obatnya, dan dari informasi tersebut dapat ditentukan frekuensi penggunaan obatnya, misalnya jadi harus diminum 3 kali sehari atau dua kali sehari.

Selain ditentukan pemilihan obat yang tepat, pasien yang dituju juga harus tepat. Perlu diteliti apakah akan ada potensi kontraindikasi, misalnya pasien menderita diabetes, diberikan suatu obat sirup dengan kadar gula tinggi dan ada keterangan "kontraindikasi terhadap pasien diabetes" artinya jangan diberikan obat tersebut untuk mencegah reaksi obat yang tidak dikehendaki. Dan perlu digali lagi informasi dari pasien untuk mengetahui ada ataut tidaknya kondisi khusus atau faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko efek samping.

Apa yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan ilustrasi dari pemberian obat yang rasional. Sebagai apoteker, jangan pernah memberikan obat secara tidak rasional, yaitu yang kebalikan dari penjelasan sebelumnya, yaitu yang memberikan obat padahal manfaatnya kecil atau bahkan tidak ada, memberikan obat  yang efek sampingnya lebih besar atau lebih banyak, atau memilihkan obat yang harganya lebih mahal, padahal ada yang lebih murah.

Jika tadi adalah pemberian obat yang tidak rasional, pemakaian atau penggunaan obat juga dapat tidak rasional. Misalnya menggunakan obat antibiotik padahal yang terjadi adalah serangan virus bukan bakteri, jadi tidak membutuhkan antibiotik, melainkan antivirus. Antibiotik yang digunakan tidak bermanfaat sama sekali. Contoh lain, menggunakan obat dengan dosis, frekuensi dan lama peberian yang tidak sesuai. Apabila sudah memahami farmakokinetik obat, jika telah diatur untuk diminum tiga kali sehari, lalu yang dilakukan hanya dua kali sehari, maka tidak akan pernah mencapai efek terapi, pengobatan menjadi sia-sia. Contoh lain yang lebih tidak rasional adalah penggunaan obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual. Bu Azizah menceritakan ada seseorang yang selalu membawa tetrasiklin ke mana-mana, dengan maksud apabila merasakan sakit perut seperti diare maka tetrasiklin dapat digunakan. Padahal, tetrasiklin adalah antibiotik yang tidak dapat digunakan sembarangan, harus disertai dengan uji lab terlebih dahulu dan sudah dipastikan sakitnya karena infeksi bakteri, jika hanya sakit perut belum tentu akibat infeksi bakteri, bisa jadi karena sebab lainnya, akibatnya bisa memicu resistensi antibiotik.

Contoh ketidakrasionalan yang lain adalah menggunakan suntikkan atau injeksi tanpa indikasi yang jelas padahal penggunaan secara oral juga dimungkinkan, penggunaan tonikum atau multivitamin tanpa indikasi medik yang tepat, atau menggunakan steroid secara sembarangan untuk terapi simtomatik berbagai kondisi.

Terdapat beberapahal atau faktor yang menyebabkan ketidakrasionalan tersebut, antara lain:
  1. Kelemahan dalam bekal pengetauan dan ketrampilan mengenai penggunaan obat.
  2. Aktivitas promosi yang berlebihan dari industri farmasi.
  3. Rasa ketidakamanan dan ketidakpastian diagnostik ataupun prognostik.
  4. Rasa gengsi yang tidak tepat dari penulis resep.
  5. Sistem suplai obat yang tidak efisien.
  6. Beban pelayanan pasien yang terlalu banyak.
  7. Ketidakadaan buku pedoman pengobatan di unit-unit pelayanan.
  8. Tekanan dan permintaan dari pasie.
  9. Generalisasi secara keliru pengalaman-pengalaman individual yang belum dianalisis secara tepat.
  10. Anggapan-anggapan atau kepercayaan yang keliru tentang manfaat obat.
  11. Ketidakmampuan menelaah setiap informasi secara kritik analitik.
Selanjutnya, tujuan pengobatan dapat tercapai  apabila adanya penggunaan obat yang rasional disertai dengan adanya kepatuhan dari pasien. Biasanya pasien dapat patuh akibat adanya pengaruh dari teman, status ekonomi (mampu untuk membeli obat dalam jangka waktu yang dibutuhkan), kepercayaan pasien terhadap penyakit dan terapinya, pengalaman pasien tentang efek samping obat, efikasi obat, dan atas self medication-nya, serta komunikasi yang baik antara pasien dengan dokter dan apotekernya. Sebaliknya, pasien dapat menjadi tidak patuh apabila merasa obat yang  digunakan sudah tidak lagi membantu menyembuhkan penyakitnya, merasa bosan minum obat secara terus-menerus, merasa tidak lagi membutuhkan obatnya, atau mengalami efek samping obat yang tidak enak.

Demikian yang saya dapat tuliskan. Terima kasih kepada Bu Azizah yang telah menjelaskan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung ^^

0 comments:

Post a Comment

If you want to be notified that I've answered your comment, please leave your email address. Your comment will be moderated, it will appear after being approved. Thanks.
(Jika Anda ingin diberitahu bahwa saya telah menjawab komentar Anda, tolong berikan alamat email Anda. Komentar anda akan dimoderasi, akan muncul setelah disetujui. Terima kasih.)